CARI CUAN - BAGIAN 1

490 59 12
                                    

Siapa yang tidak kenal Gramedia, Gunung Agung, atau Togamas? Mari nostalgia sejenak. Ketika saya SD, hampir seminggu sekali orang tua saya mengajak ke toko buku. Kayak ketemu surga aja kalau lihat tumpukan buku. Saya berkhayal, kapan bisa memajang karya di raknya? Pasti orang tua bangga kalau anaknya ini selain bisa ngabisin nasi juga bisa bikin karya.

Orang tua saya akrab dengan toko buku Gunung Agung yang berdiri sejak tahun 1953 dan sampai work ini ditulis, sudah memiliki lebih dari 30 cabang. Orang yang keluar dari tokonya bakal dianggap intelek, terpelajar gitu.

Menyusul Gunung Agung, Gramedia berdiri tahun 1970 dan merajai dunia pertoko bukuan Indonesia. Tahun 1974, Gramedia mulai melebarkan sayap usaha dengan membuka penerbitan yakni Gramedia Pustaka Utama. Sejak saat itulah nama Gramedia sebagai toko buku dan penerbit kokoh diakui masyarakat Indonesia, bahkan mungkin dunia.

Berapa banyak judul buku best seller karya penulis top dunia yang diterjemahkan, diterbitkan, dan dijual oleh Gramedia Pustaka Utama grup? Semua penulis yang lahir era 1960-2000-an akan bangga kalau karyanya terpajang di rak toko Gramedia dengan logo grup Gramedia.

Tetapi, tentu tidak ada yang abadi di dunia ini. Sebagaimana Nokia yang harus legowo menyerahkan tahta perusahaan ponsel sejuta umat pada Samsung, dan mungkin suatu hari Samsung pun harus merelakan tahtanya pada perusahaan lain yang entah apa namanya, begitu pun penerbit konvensional.

Semua berkat satu kata: DISRUPTION.

Kamu yang belum baca buku karya Prof. Rhenald Kasali ini, wajib banget baca.

Buku ini membahas secara detail mengapa banyak perusahaan konvensional bangkrut, PHK massal pada karyawan yang kemampuannya tidak menyesuaikan zaman

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Buku ini membahas secara detail mengapa banyak perusahaan konvensional bangkrut, PHK massal pada karyawan yang kemampuannya tidak menyesuaikan zaman.

Ya, nggak menutup kemungkinan, toko buku maupun penerbitan konvensional akan mengalami hal yang sama.

Saya baru mengenal dunia perbukuan dan penerbitan pada tahun 2018, ketika masuk grup kepenulisan bernama theWWG. Cukup terkejut atas informasi bahwa royalti penulis dari penerbit konvensional hanya 7-15% saja. Lebih terkejut lagi ketika tahu toko buku meminta bagi hasil 30-40% dari setiap buku yang dipajang dan terjual.

Artinya, kalau harga buku adalah Rp. 80.000, maka penulis mendapatkan antara Rp. 5.600-Rp. 12.000. Toko buku konvensional akan mendapatkan Rp. 32.000.

Sisanya ke mana? Tentu untuk membayar biaya cetak buku yang mahal, apalagi harga kertas melambung, membayar editor, lay outer, cover designer, dan karyawan penerbitan yang jumlahnya tidak sedikit.

Memang harus diakui melihat karya kita yang tadinya cuma deretan kata di layar laptop, berubah menjadi buku cetak yang di sampulnya tertera nama kita, adalah kebanggaan luar biasa. Bisa peluk-peluk buku karya kita sendiri, pamer ke tetangga, tentu sensasinya luar biasa. Kalau kamu adalah orang yang mengutamakan prestise daripada uang, silakan berjuang untuk meraih itu, yang saya yakin nggak akan mudah pada era digital 4.0 sekarang ini.

Write Without FearWhere stories live. Discover now