Epilog

572 28 21
                                    

Jauh beribu-ribu mil dari ibukota Chang An, adalah sebuah kota terpencil yang kerap di sebut sebagai tempat jin buang anak. Kota Kaifeng adalah bagian dari Kerajaan Liang yang merupakan wilayah perbatasan antara daratan tengah teritori kerajaan di bawah otoritas Kekaisaran Han dengan Kerajaan Xiongnu ( Mongolia ) sekaligus menjadi garis pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan dari bangsa barbar yang ada di luar sana.

Iklim di Kota Kaifeng terbilang ekstrim. Cuaca tak menentu. Ketika musim dingin, suhu terendah berada jauh di angka minus. Danau dan sungai akan membeku. Badai salju yang dahsyat mampu menghancurkan rumah dan menelan korban jiwa. Sebaliknya, ketika musim panas, teriknya matahari luar biasa panasnya. Tanah gersang sehingga sulit sekali bercocok tanam. Tak hanya alam yang tak bersahabat bagi para penghuni kota, bangsa Xiongnu yang seringkali menyerang perbatasan pun menjadi momok yang menakutkan. Alhasil, bentrokan pun bisa terjadi sewaktu-waktu.

Dari waktu ke waktu, terjadi eksodus besar-besaran warga sipil ke tempat lain yang lebih aman. Hanya sebagian kecil saja penduduk yang memilih bertahan. Di tahun-tahun selanjutnya sampai sekarang Kota Kaifeng berubah menjadi markas pertahanan.

Awan hitam mengepul di langit yang mendung. Angin berhembus kencang menerbangkan pasir ke udara. Sejumlah penjaga pintu gerbang yang berkumpul lari berhamburan sambil menutup mata dengan kedua tangannya. Tempat itu adalah sebuah benteng pertahanan Kerajaan Liang yang paling dekat dengan Kerajaan Xiongnu.

"Uhukkkk.... uhukkkkkk....."
Suara batuk memenuhi ruangan sederhana yang berukuran tak seberapa itu. Seorang bocah kecil dengan rambut di kuncir bangun dari peraduannya. Wajah bulatnya nampak kusam. Bibirnya pucat. Bocah itu adalah Jian Ying, putra sulung Kaisar Gaozu yang diasingkan ke tempat antah berantah ini.

Sudah empat tahun lamanya Jian Ying berada di Kota Kaifeng menjalani hukuman dari dosa yang tidak pernah dirinya lakukan. Kini sang pangeran sudah menginjak usia sepuluh tahun. Cuaca yang berubah-ubah menyebabkannya sulit untuk beradaptasi. Karenanya, seringkali Jian Ying jatuh sakit.

Petir menyambar disertai guruh yang bergluduk menggetarkan tembok. Jian Ying bergeming dari kasur menuju meja yang letaknya dekat dengan jendela. Dia duduk di lantai dan mengambil kuas lalu sehelai perkamen. Dia pun mulai menulis. Sesekali dia terbatuk-batuk hingga konsentrasinya terganggu. Namun dia tetap berusaha untuk menulis, sebagus dan serapi mungkin. Maksud hati, Jian Ying ingin menulis surat permohonan kepada Kaisar Gaozu untuk mengizinkannya kembali ke ibukota Chang An.

"Uhukkkk.... uhuuukkkkk....."
Kali ini Jian Ying berbatuk hebat sampai tak disengaja tangannya menyenggol wadah tinta sampai tertumpah mengotori perkamen di depannya.

Jian Ying mencoba untuk membersihkan perkamen itu dengan cara menggosoknya. Tetapi semakin ia menggosok, noda hitam dari tinta malah semakin melebar. Jian Ying gusar sendiri dan melemparkan perkamen itu dengan kasar. Dia menyerah. Lalu dia pun mulai emosional dan menangis seperti anak kecil.

Ini bukan kali pertama dia menulis surat permohonan kepada Kaisar Gaozu bahkan juga kepada Permaisuri Lü. Selama bertahun-tahun, dia terus menulis dan mengirim surat ke istana agung sampai dirinya sendiri pun tidak tahu sudah berapa kali dia melakukannya. Sayangnya, tidak pernah sekali pun dia mendapatkan balasan. Jujur, hati kecilnya mulai pesimis.

"Ibunda... Apakah anda juga tidak menginginkanku lagi? Aku adalah putramu.... Mengapa anda tidak mempedulikanku?"

'_'

"Mengapaaaaaaa?"

Jian Ying terisak-isak sesenggukan. Ia tak pernah berhenti merindukan sang ibunda yang dulunya sangat menyayanginya.

Empat tahun lalu, Kaisar Gaozu mencabut statusnya sebagai pangeran mahkota dan mengirimnya ke sini tanpa memberinya kesempatan untuk berpamitan dengan sang ibunda. Dia dikeluarkan buru-buru dari istana karena Kaisar Gaozu takut keselamatannya akan terancam oleh Raja Liao yang menuntut pembalasan. Namun Jian Ying masih terlalu kecil untuk mengerti apalagi setelah suratnya tidak pernah dibalas, pandangannya terhadap Kaisar Gaozu pun berubah.
Dia merasa Kaisar Gaozu memang sengaja membuangnya jauh-jauh daripada menjadi beban. Kaisar Gaozu tidak mau mengambil resiko mempertahankannya.

Daun pintu berderit dibuka dari luar memunculkan seorang perempuan separuh baya berpakaian sederhana. Dia adalah seorang pelayan.

"Saatnya minum obat!" Serunya berjalan masuk dengan cepat.

"Hei!!!"
Perempuan itu menyentakkan mangkok obat dengan kasar di atas meja.

"Mengapa kau cengeng sekali? Bisanya kau hanya menangis dan menyusahkan saja"
Alih-alih menghibur, perempuan itu justru melempar ekspresi tak suka kepada Jian Ying yang masih larut dalam perasaan sedihnya.

"Kau tahu betapa menyebalkan kau ini? Setiap hari aku sudah sibuk melaksanakan tugas dan masih harus memasakkan obat untukmu!"
Lanjutnya menggerutu seraya membereskan ruangan kamar yang berantakan.

Jian Ying menghiraukan. Para hamba di sini memang tidak pernah bersikap baik dan hormat kepadanya apalagi disaat Xiao He tidak ada.

Perempuan itu memungut perkamen di lantai lalu berjalan kepada Jian Ying dan menarik tangannya hingga sang pangeran dipaksa berdiri, "Apa ini? Kau membuang-buang perkamen lagi,"
Dia mendamprat dengan ketus.

"Aku adalah seorang pangeran dan kau hanya seorang hamba. Berani-beraninya kau bersikap kurang ajar padaku,"
Sekuat tenaga, Jian Ying menghempaskan tangan perempuan itu. Sudah cukup perlakuan tak pantas yang diterimanya, kali ini ia akan melawan.

"Apa? Pangeran?" Perempuan itu menarik sudut bibirnya mengejek.

"Setelah kau dibuang kemari, kau masih berpikir kau adalah seorang pangeran?"

Perempuan itu melihat sekilas perkamen yang dipegangnya dan tertawa sinis, "Kaisar Gaozu sudah memiliki anak kembar. Salah satunya adalah anak laki-laki jadi mana mungkin beliau mau menganggapmu lagi?"

Rahang Jian Ying mengeras. Ia menatap sengit perempuan itu. Keterlaluan! Jika ini adalah istana agung, dia pasti sudah dipukuli sampai mati karena kekurangajarannya.

"Berhenti menatapku dengan tatapan penjahat seperti itu!"
Sembur perempuan itu lalu berbalik arah berjalan keluar meninggalkan Jian Ying.

"Dasar bocah! Kecil-kecil sudah jadi pembunuh. Beruntung saja Kaisar Gaozu mencabut statusnya dan membuangnya jauh-jauh. Apa kata dunia jika orang seperti dia yang mewarisi tahta Kekaisaran Han kelak?"
Seakan belum cukup memarahi, perempuan itu masih saja mendumel sendiri mengata-ngatai Jian Ying.

Darah Jian Ying mendesir mendengarkannya. Amarahnya memuncak. Ia melirik sebilah pisau belati di meja dan mengambilnya tanpa pikir panjang. Ia bergerak menyusul perempuan itu lalu menghunuskan senjata ditangannya. Ia harus memberi pelajaran kepada perempuan itu.

Napas Jian Ying memburu seiring langkah kakinya yang berat. Pemikirannya menjadi kalut ketika ia sudah hampir mengejar perempuan itu. Apa yang ingin ia lakukan? Membunuhnya?

Tidak!!!

"Brak"

Perempuan itu hilang tertelan pintu yang tertutup. Jian Ying terhenti. Pisau pun terlepas dari tangannya. Ia mengurungkan niatnya. Jika ia membunuh perempuan itu maka ia benar-benar akan menjadi seorang pembunuh. Ia berada disini menjalani hukuman demi melindungi Ru Yi yang telah membunuh Yelu Zheng. Ia tidak boleh bertindak gegabah melakukan sesuatu yang akan memperberat hukuman kepadanya.

"Ayahanda... Anda boleh saja membuangku. Tapi liat saja nanti, aku akan kembali ke istana dengan usahaku sendiri dan mengambil balik segalanya yang memang milikku,"
Gumam Jian Ying mengepal kedua tangannya dengan kuat mewakili perasaannya yang diselimuti amarah.


Bersambung.....

***************

Love, Tears & DesireWhere stories live. Discover now