Part 108 : Hidup Mati Mei Ting vs Pembalasan Zhi er

819 71 14
                                    






Siang hari itu, sekembalinya dari sekolah, Mei Ting membawa Jian Ying pergi menemui sang ibunda di ruang makan, di paviliun timur. Menikmati makan siang bersama Zhi er adalah kebiasaan yang seolah sudah menjadi kewajiban bagi Jian Ying. Mereka tidak pernah melewatkan makan siang bersama walau sesibuk apapun masing-masing dengan kegiatannya.

Ruangan makan itu lengang. Atmosfer berat mengelilingi sekitar meja makan bundar. Tidak ada percakapan apapun di sana semenjak keduanya melayangkan bokong di atas kursi, bahkan ketika lauk-pauk yang sudah disajikan sudah mulai mendingin.

Zhi er menopang kedua tangan di meja menyorot Jian Ying yang apatis. Dari sejak menginjakkan kaki kemari, Jian Ying tidak berbicara sepatah kata pun juga. Wajahnya nampak datar dan dingin bahkan Jian Ying tidak menyapa ibundanya seperti biasa yang dirinya lakukan.

Tentu saja Zhi er heran dengan tingkah Jian Ying yang seperti sedang marah padanya.

Oh mungkin karena kejadian kemaren. Sepertinya Jian Ying belum menginterospeksi diri. Berat bagi Zhi er untuk menerima jika Jian Ying ternyata berbagi kemiripan yang persis sama seperti Kaisar Gaozu.

Zhi er tidak ingin putranya menjadi seorang anak yang menyusahkan dirinya kelak.

Tapi tidak apa-apa. Zhi er punya cara untuk membuatnya bersikap. Sekarang, Zhi er ingin lihat seberapa lama putranya itu merajuk padanya dalam keadaan menahan lapar. Dari tadi, rasanya Jian Ying juga sudah paham dengan keadaan. Jian Ying tidak boleh menyentuh makanan sebelum mau berbicara dengan sang ibunda.

"Ibunda...."
Suara imut itu melirih. Jian Ying meneleng pada sang ibunda memperlihatkan raut memelas di wajahnya.

"Jian Ying lapar. Bolehkah Jian Ying makan?" Tukasnya bertanya penuh harap sambil menjeling takut-takut ke arah meja.

Sejenak, Zhi er tertegun. Akhirnya Jian Ying bersuara. Sikap manis Jian Ying yang pasrah meluluhkan hatinya. Satu gestur saja sudah lebih dari cukup membuat Zhi er percaya bahwa Jian Ying tetap lah Jian Ying, putranya yang polos dan tak berdosa itu.

"Yaaaa... Tentu saja, bao bei!!! Semua makanan ini memang untukmu,"
Senyum sumringah Zhi er mekar membuat wajah datarnya menjadi hangat.

Hanya dalam hitungan detik, suasana menjadi teduh. Jian Ying tersenyum kegirangan seketika dengan kehangatan yang diberikan Zhi er. Dari tadi perutnya sudah keroncongan bukan main.

Dengan gerakan tangkas, Jian Ying mengambil sepasang sumpit dan langsung menyerbu semua hidangan makanan tanpa mempedulikan para hamba yang sedang memperhatikannya.

"Ini makan lah...."

Zhi er mengambilkan sayuran dan meletakkannya di dalam sebuah mangkok lalu mendorongnya ke arah Jian Ying yang melahap nasi dan lauk dengan rakus. Ia hanya bisa tersenyum geli menyaksikannya. Kekanak-kanakan Jian Ying yang bertingkah apa adanya sudah lama tidak dirinya lihat.

"Ibunda juga makan..."
Seru Jian Ying dengan mulut penuh mengunyah makanan. Jian Ying menyumpit lauk di dalam mangkoknya dan menyodorkannya pada Zhi er.

Tanpa ragu-ragu, Zhi er membuka mulut menyambut suapan Jian Ying. Tindakan kecil Jian Ying menjadi sangat berarti ketika Jian Ying melakukannya dengan tulus.

Sesederhana ini lah kebahagiaan seorang ibu merasakan kebersamaan di atas meja makan bersama putranya.

******************

Love, Tears & DesireKde žijí příběhy. Začni objevovat