202 - Madad

263 95 16
                                    

.

.

"Saya, seperti juga kamu, hanyalah manusia biasa. Sementara segala kekuatan, sumbernya dari Allah ta'ala. Sandarkan harapanmu hanya kepada Allah."

.

.

***

"Umar, tolong bantu saya duduk," kata Syeikh Abdullah dengan suara lemah.

Umar bergegas menghampiri gurunya. Berlutut, lalu perlahan melingkarkan tangan Syeikh di pundaknya. Mengangkat beliau dari posisi berbaring menjadi duduk. Bantal diletakkan di dinding, agar Syeikh merasa nyaman bersandar di sana.

"Tolong buka pintu geser itu," pinta Syeikh lagi, sembari menunjuk pintu geser kotak-kotak di seberangnya.

Tak lama, pintu geser itu terbuka lebar. Hawa dingin pegunungan memasuki ruangan. Pukul tujuh pagi hari. Mentari sudah muncul, namun tak terasa panas di daerah yang memang dingin ini. Pemandangan bukit nampak cantik dipandang mata.

"Kangen sekali rasanya. Sudah lama tidak zikir di tempat ini," ucap Syeikh tersenyum.

"Iya, Syeikh," sahut Umar yang sedang berusaha menahan diri agar ia tidak menangis di hadapan Syeikh.

Kemarin Syeikh dipindah ke tempat suluk. Para santri ikut serta, membersihkan tempat suluk yang sudah tidak pernah terpakai semenjak Syeikh Abdullah jatuh sakit.

"Saya akan buatkan teh," kata Umar, pertanda dirinya mohon diri.

"Syukran, Umar," ucap Syeikh sebelum Umar hilang dari pandangannya.

"Afwan, Syeikh," balas Umar. Sebelum pergi, masih sempat dilihatnya Syeikh meraih tasbih panjang dan memulai zikir. Di luar pintu, Umar menangis. Dia selalu takut setiap kali pergi meninggalkan ruangan Syeikh meski hanya sebentar ke kamar mandi atau dapur atau tempat lainnya. Takut ketika kembali nanti, akan menemukan Syeikh dalam keadaan tidak bernyawa.

Umar mengucap istigfar. Tidak boleh. Dia harus berusaha mengikhlaskan. Tiap yang bernyawa akan mati, termasuk Syeikh. Ustaz Umar melenggang menuju dapur, menyiapkan teh untuk Syeikh.

Syeikh berzikir menghadap pemandangan puncak bukit. Sinar mentari pagi menelusup lembut melalui sela dedaunan. Kabut putih tersisa tipis di udara.

Sepasang mata Syeikh perlahan memejam. Memasuki alam yang berbeda.

Yunan ...

Yunan! Ini saatnya!

.

.

Pukul tiga dini hari di Hadramaut.

Yunan tertidur lelap. Suara seseorang memanggilnya berulang-ulang.

"Yunan!"

Tepukan di pundak Yunan, membuatnya membuka mata, tapi ini masih di alam mimpi, Yunan tahu.

"Syeikh!" Yunan memeluk pria tua kesayangannya. "Syeikh masih hidup?"

Yang ditanya menghela napas. "Ya, tapi tidak untuk waktu yang lama. Ayo cepat, Yunan. Waktunya sudah tiba. Jabat tangan saya, seperti saat kamu berba'iat pada saya," ucap Syeikh menyodorkan tangan.

Yunan menurut meski nampak bingung. Apa dia harus berb'aiat ulang? Untuk apa?

Syeikh mengucap basmallah, lalu shalawat. "Dengan izin Allah, aku, Abdullah bin Zaid, menurunkan madadku kepadamu, Yunan Lham bin Hamish Daud. Semoga keimananmu, ketakwaanmu, ikhtiar dakwah dan syi'ar agamamu, selalu berada dalam perlindungan Allah subhana wa ta'ala."

ANXI EXTENDEDWhere stories live. Discover now