307 - Arsenik

276 83 37
                                    

.

.

Kenapa belakangan berita buruk sering terdengar?

.

.

***

Adli berdiri mematung di depan jasad Ilyasa. Dua orang polisi berada di sampingnya.

"Kami hanya ingin memberitahukan, bahwa kami akan melakukan autopsi secepatnya. Kalau bisa malam ini juga."

Air mata Adli mengalir. Ia terlalu syok hingga tak bisa bicara sepatah kata pun semenjak melihat langsung jenazah Ilyasa. Bukankah mereka baru saja bertemu tiga hari yang lalu di rumah sakit? Baru saja mereka berbahagia karena Kak Yunan akhirnya sadar dari koma. Lantas sekarang, kenapa --?

"I-Iya, Pak. Kakak saya Raesha juga pasti ingin pelakunya tertangkap," ucap Adli dengan suara gemetar.

Salah satu polisi mengeluarkan buku catatannya.

"Apa kami bisa minta keterangan anda sekarang?" tanya sang polisi.

Adli mengurut kening, lalu menghapus air mata. "Saya -- hh ... bagaimana, ya? Saya sedang tidak bisa berpikir jernih sekarang. Maaf, bisakah sesi tanya jawab ini diundur?"

Polisi itu memasukkan kembali notesnya ke dalam saku. "Baik, Pak Adli. Boleh kami hubungi anda besok? Sementara kami akan kumpulkan keterangan dari rekan-rekan almarhum Bapak Ilyasa Ahn di lokasi syuting."

"Ya saya rasa sebaiknya begitu. Terima kasih atas pengertiannya, Pak," ucap Adli lega. Dia merasa isi kepalanya kusut sekarang. Raesha baru saja masuk ke UGD, selepas Raesha pingsan. Tidak mungkin dalam kondisi ini Adli bisa menjawab dengan baik.

Kedua polisi itu mohon diri. Adli keluar dari ruang jenazah dengan langkah lunglai. Kru TV sudah pamit tadi. Adli berjalan menuju ruang UGD. Raesha masih belum sadarkan diri. Ustadzah Mia menemani Raesha di sana.

"Maaf saya tadi telepon Mas Adli. Saya lihat nomor Mas Adli ada di history telepon Ustadzah Raesha," kata Mia.

"Gak apa-apa, Ustadzah. Saya yang terima kasih karena dikabari segera. Maaf, kalau tidak merepotkan, apa boleh minta tolong jaga Kakak saya di sini? Karena saya perlu bicara dengan keluarga saya di lantai atas," pinta Adli sopan.

"Iya, Mas. Saya akan temani Ustadzah Raesha sampai siuman."

Adli merasa lega mendengarnya. Dia bakal kewalahan kalau harus naik turun lantai tanpa ada yang menjaga Raesha. Kepalanya mumet memikirkan bagaimana cara menjelaskan ini pada Ismail dan Ishaq.

Adli memasuki lift sambil mengusap wajah. Satu hal lagi yang membuatnya mumet. Bagaimana cara menyampaikan ini pada ayahnya?

Lift terbuka. Adli keluar ruangan, lalu berbelok ke koridor VVIP. Langsung disambut oleh Erika yang berlari memeluknya sambil menangis sesenggukan.

Zhafran dan Mahzar berdiri mengamati mereka di koridor luar pintu ruang rawat.

"Ya Allah! Adli! Ini beneran? Kamu udah lihat jenazah Ilyasa?" tanya Erika dengan suara berusaha diredamnya.

"Iya, Bu. Kak Ilyasa meninggal. Dugaan awal, karena keracunan arsenik, kata polisi. Mereka akan melakukan autopsi paling lambat malam ini. Untuk keperluan penyelidikan," jawab Adli yang air matanya kembali menetes.

"Ya Allah!" pekik Erika dengan suara tertahan. Pundak wanita itu bergetar kuat. Adli memeluk ibunya lagi.

"M-Mana Raesha?" tanya Erika.

"Pingsan. Sekarang di UGD."

"Siapa yang menjaganya di sana??"

"Ada pengajar madrasah, Ustadzah Mia. Dia yang jaga Kak Raesha."

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang