293 - Do'a

206 74 7
                                    

.

.

"Keajaiban tidak bekerja dengan cara itu."

.

.

***

Pendar cahaya kehijauan yang lembut, keluar dari sorot mata Zhafran, menatap lurus ke mata Yunan yang terpejam. Tatapan itu kemudian terfokus pada titik di tengah, di antara kedua mata Yunan.

"Oh. Syeikh sedang berkumpul dengan Syeikh Abdullah? Aku titip salam untuk beliau."

Zhafran mengangkat punggung tangannya. Menghadapkan cincin di jari manisnya ke arah Yunan. Cahaya dari cincin kini bertambah intensitasnya, menerangi lekuk wajah Yunan.

"Syeikh melihat cahaya ini? Jika Syeikh melihatnya, beri aku tanda."

Hening sekian detik, sebelum alat EKG tetiba berubah suaranya. Kurva detak jantung Yunan melonjak sekejap.

Zhafran tersenyum.

"Kheir. Kita akan mulai berdo'a. A'uudzubillahiminasysyaithonirrajiim. Bismillahirrahmanirrahiim."

Zhafran menengadahkan kedua telapak tangannya. Dari sudut mata, Zhafran melihat beberapa jin di dalam ruangan, kabur terbirit-birit, beterbangan menembus dinding ruangan.

Lantunan do'a pembuka dirapalkan Zhafran. Lalu sebuah nama disebut oleh bibirnya.

"Syeikh .... bin  ... "

Sesosok pria tua kurus, bergamis dan bersorban putih, muncul di samping kanan Zhafran. Tubuhnya tertembus cahaya.

"Syeikh ... bin ... "

Muncul sosok kedua di kiri Zhafran. Yang ini janggut putihnya lebih panjang, dan tubuhnya lebih berisi. Mengenakan pakaian yang sama.

"Syeikh ... bin ... "

Sosok ketiga berdiri di seberang mereka. Lalu keempat, kelima, hingga mereka berjumlah sembilan orang. Semuanya berdiri melingkari Yunan. Hanya pewaris cincin mata sembilan, yang bisa tahu nama-nama kesembilan wali itu, lengkap dengan 'bin' nya.

Ruh sembilan orang wali, yang berasal dari abad ke-14 Masehi di sebuah daerah tepi laut di Selatan Arab. Mereka yang dahulu suatu malam saat purnama berwarna merah, di sepertiga malam terakhir, mendatangi seorang pria saleh pembuat perhiasan, dengan membawa sembilan butir mata berlian. Minta dibuatkan sebuah cincin yang tercakup do'a mereka di dalamnya.

.

.

Kantin rumah sakit sore ini cukup ramai. Para penjenguk pasien yang mungkin belum sempat makan siang lantaran panik mengantar saudara atau kenalan mereka ke rumah sakit ini, kini memutuskan mengisi perut mereka di sini.

Dua porsi kroket kentang dan dua gelas jus buah, tersaji di meja untuk dua orang. Ilyasa dan Raesha duduk berhadap-hadapan. Menu camilan, sebab mereka sebenarnya tadi sudah makan siang.

"Aku masih gak percaya rasanya," ucap Raesha dengan ekspresi kecewa di wajahnya.

Ilyasa menundukkan kepala. "Maafin aku, sayang," gumamnya lesu.

"Apa yang bikin kamu sampai mukul Kak Yunan? Memangnya Kak Yunan ngapain?" cecar Raesha.

Ilyasa terlihat tidak begitu nyaman dengan pertanyaan itu. "Bisakah kita tidak membahas ini lagi?"

"Oke, ini terakhir kali. Tapi setidaknya kasih tahu aku, apa alasannya? Apa Kak Yunan nanya ke kamu tentang luka di bibirku, lalu kamu tersinggung?" tanya Raesha sambil menunjuk ke bagian bawah bibirnya.

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang