366 - Jalan-jalan

224 64 7
                                    

.

.

"Tapi ternyata, kamu masih menangis bahkan setelah kubawa ke sini."

.

.

***

Raesha mencengkeram tasnya yang berisi mukena. Salah tingkah. Ia sadar, seseorang tengah menatap matanya lekat. Mata yang kini berkantung akibat tangis yang cukup awet sepanjang salat Maghrib berjama'ah hingga selepas zikir bersama.

Yunan yang sedari tadi curi-curi pandang ke arah Raesha, gatal sekali ingin bertanya, tapi menahan diri. 

Ishaq adalah yang akhirnya bertanya dengan lantang, "Ibu matanya kok bengkak?"

Raesha nampak malu saat menjawab sambil cengengesan, "kenapa, ya? Digigit serangga kali, ya?" 

Adli melirik ke arah Raesha. Dia baru sadar kalau mata Raesha sembap. Kenapa kiranya? Tadi sebelum salat, sepertinya baik-baik saja.

"Ishaq mau makan apa nanti?" tanya Yunan tiba-tiba. Itu adalah pengalihan fokus, Raesha paham. Ia merasa terharu, Kak Yunan paham kalau dirinya sebenarnya merasa malu ketahuan habis menangis.

"Aku mau rendang," jawab Ishaq tanpa berpikir.

"Oh? Kamu suka rendang? Kuat makan pedas?" tanya Yunan lagi.

"Iya. Bapak juga suka rendang."

Jawaban Ishaq membuat semua terdiam. Topik sensitif. Almarhum Ilyasa.

"Oh ya? Om baru tahu kalau Bapakmu suka masakan Padang," sahut Yunan meski nampak ragu meneruskan percakapan tentang Ilyasa yang baru hitungan bulan wafat. Dengan cara dibunuh pula.

"Iya, Om. Bapak bilang, dulu Bapak pernah dimasakin rendang sama Ibu. Ibu sama Bapak belum nikah waktu itu. Bapak masih kuliah di Kairo. Ibu yang sebenarnya gak bisa masak, demi bisa ngirim masakan ke Bapak, sampai belajar masak, terus milih rendang karena menurut Ibu, rendang lebih awet. Bapak senang sekali waktu nerima kiriman rendang dari Ibu. Rendang terenak yang pernah dimakan Bapak, kata Bapak. Sejak itu, rendang jadi makanan favorit Bapak."

Yunan melihat sekilas ke arah Raesha. Yang diamati, sedang tertunduk kepalanya. Hati Raesha serasa diremas, mendengar kisahnya dan Ilyasa diceritakan oleh Ishaq. Dia dan Ilyasa sedang berbunga-bunga asmaranya saat itu. Air mata mulai menggenang di kelopak mata Raesha.

"Pasti masakan Ibumu enak sekali. Om juga jadi mau makan rendang," kata Yunan, terdengar berusaha ceria, meski ia sebenarnya merasa terbakar cemburu.

Apa yang Yunan pikirkan? Saat itu Raesha dan Ilyasa menjalin hubungan jarak jauh. Ilyasa sudah mengkhitbah Raesha sebelum Ilyasa berangkat ke Kairo untuk kuliah. Jadi wajar saja jika mereka merasa saling rindu dan Raesha ingin mengirim masakan buatannya untuk Ilyasa.

Lantas apa masalahnya? Masalahnya adalah, Yunan tidak pernah sekalipun merasakan masakan buatan Raesha. Tentu saja. Waktu hubungan mereka masih dekat dulu, Raesha belum bisa masak sama sekali.

Yunan berjalan tertunduk. Sungguh memalukan. Kenapa dia bisa terpikir cemburu pada Ilyasa yang pastinya sudah pernah mencicipi banyak menu masakan buatan tangan Raesha? Padahal, meski tidak tiap hari memasak, Arisa cukup sering memasak untuknya. Dan masakan Arisa, menurut Yunan enak. Mungkinkah ini bukan masalah enak atau tidak enak?

Adli menelan ludah. Merasa suasana di antara mereka mendadak jadi suram setelah Ishaq menceritakan tentang almarhum Ilyasa. Dan Adli terjebak di antara mereka. Kak Yunan dan Kak Raesha. Kedua bocah yang digandeng tangannya oleh Kak Yunan, agaknya tak merasakan suasana suram ini.

Setelah mereka kembali duduk di kursi makan, gantian shift berikutnya salat Maghrib ke musholla. Erika, Haya, Elaine dan Raihan.

"Ishaq, kamu udah lapar, sayang?" tanya Raesha pada putranya yang duduk di samping Yunan. Ismail dan Ishaq, mengapit Yunan. Benar-benar, kedua anaknya ini. Nempel terus pada Yunan, tak bisa lepas.

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang