258 - Geneva

245 73 10
                                    

.

.

Konferensi-konferensi bertajuk kemanusiaan itu, bukan menjadi tolak ukur toleransi.

.

.

***

"Surat ancaman?" gumam Arisa dengan wajah pucat.

Yunan mengangguk di hadapan istrinya. Keduanya menjelang tidur di ranjang mereka. Yunan menggenggam lembut tangan Arisa.

"Haruskah kamu pergi, sayang? Apa tidak sebaiknya rencana ke Swiss ditunda dulu?" tanya Arisa, lebih terdengar seperti memohon.

Jemari Yunan mengelus rambut sebahu Arisa. "Tidak, sayang. Aku tetap berangkat."

Arisa menundukkan kepalanya. Yunan kalau sudah memutuskan, akan tetap menjalankan keputusannya tak perduli apapun.

"Dengar, sayang. Tolong sampaikan ini juga pada Raihan dan Elaine. Jika terjadi sesuatu padaku -- tentunya aku berharap aku terhindar dari mara bahaya dan bisa pulang dengan selamat -- tapi seandainya terjadi sesuatu padaku ... aku mau kalian ridho. Ridho. Tidak perlu menuntut siapapun. Entah itu perseorangan, atau organisasi yang mencelakaiku. Aku tidak mau kalian menuntut siapapun. Paham?" kata Yunan dengan tatapan serius.

Air mata Arisa menetes. Situasi ini mengingatkannya akan kisah seorang saleh yang mengetahui dirinya hendak dibunuh. Orang saleh itu mengumpulkan seluruh keluarganya, dan berpesan jika sesuatu terjadi pada dirinya, dia ingin keluarganya rida dan tidak menuntut siapapun.

"Jangan sampai surat ancaman ini bocor ke ayahku, ibuku dan Raesha. Mereka akan makin khawatir mendengarnya," imbuh Yunan.

Arisa mengangguk dengan air mata makin berderai. Suami istri itu berpelukan erat. Semenjak kejadian di India, Yunan melarang Arisa ikut bersamanya.

"Jangan terlalu mencemaskanku. Ancaman-ancaman ini adalah bagian dari perjalanan dakwahku. Tiap-tiap orang, diberikan sesuai takarannya. Tak ada yang bisa mencelakaiku, jika Allah tidak mengizinkannya. Dan juga sebaliknya, tak ada yang sanggup kulakukan, jika Allah menetapkan diriku celaka. Do'akan saja aku. Kirimkan Al Fatihah untukku."

Arisa mengeratkan rangkulannya. Air matanya membasahi kaus yang dikenakan Yunan.

"Jika jatah dakwahku ditetapkan berakhir, aku berharap kamu dan anak-anak kita tetap hidup dan meneruskannya."

Dinginnya malam di bukit Sumatera Barat, tak  kentara melawan hangatnya pelukan mereka, seolah pelukan itu adalah pelukan terakhir mereka.

.

.

"Ada koper lain lagi, Syeikh?" tanya Mahzar pada Yunan.

Dua orang pemuda yang usianya dua puluh-an awal, nampak sibuk memasuk-masukkan barang ke dalam mobil. Mereka adalah Henry dan Dahlan. Lulusan pesantren yang dikelola Ustaz Umar. Begitu mendengar berita Yunan nyaris jadi korban penembakan di New Delhi, Ustaz Umar mengadakan rapat tertutup dengan beberapa orang alumnus pesantren, dan mereka sepakat untuk mengirimkan dua orang perwakilan pesantren untuk berkhidmah seperti yang dilakukan Mahzar. Pertimbangan mereka, dikawal tiga orang, insyaallah akan lebih baik ketimbang Mahzar menghadapi semuanya sendirian.

"Sudah semua, Mahzar. Kita berangkat sebentar lagi. Bilang sama Henry dan Dahlan, kalau mau, mereka bisa ke hammam (toilet) dulu, sebelum kita berangkat," jawab Yunan sambil memasukkan ponsel ke kantung jaketnya.

"Kheir, Syeikh," sahut Mahzar patuh.

Arisa berdiri di luar pintu rumahnya. Meremas tangannya sendiri. Kepergian suaminya kali ini, terasa berbeda dari yang sudah-sudah.

ANXI EXTENDEDWhere stories live. Discover now