310 - Pergi

277 85 26
                                    

.

.

Sesungguhnya saat seorang muslim diwafatkan, tanah tempat sujud muslim itu di bumi semasa hidupnya, turut menangisi kepergiannya.

Tangisan yang hanya bisa didengar oleh orang yang dibuka hijab pendengarannya.

.

.

***

Raesha merebahkan kepalanya di bahu Adli. Mereka sekeluarga sedang duduk di ruang tunggu di luar ruang ICU. Menunggu pemberitahuan dari dokter.

Air mata Raesha mengalir tak henti. Jika pun berhenti, hanya sesaat, sebelum menangis lagi. Dia masih berharap ini semua hanya mimpi buruk saja. Masih merasakan berat beban di hatinya dengan kepergian Ilyasa, kini malah mendengar kabar bahwa Yoga masuk ICU karena kena stroke setelah melihat jenazah Ilyasa. Dia bisa membayangkan, ayahnya itu pasti syok berat. Ditambah lagi, Ilyasa adalah anak yang sangat manja pada Yoga. Bahkan Adli tidak semanja itu pada Yoga. Kalau ketemu Yoga, bawaannya Ilyasa pengin ngelendot sama Yoga ke mana-mana. Selalu ingin jadi anak yang paling diperhatikan Yoga.

Raesha tahu meski Ilyasa tidak pernah cerita, bahwa Ilyasa sebenarnya merasa ada persaingan antara dirinya dengan Yunan. Suaminya itu selalu merasa Yunan lebih disayang oleh Yoga. Padahal di mata Raesha, Yoga memerlakukan keduanya setara. Ya mungkin ada perbedaan di sana-sini, tapi bukan berarti Yoga lebih sayang pada Yunan ketimbang Ilyasa. Lebih tepat jika dikatakan bahwa Yoga menyayangi keduanya dengan cara yang berbeda.

Jadi bisa dibayangkan perasaan Yoga saat melihat tubuh Ilyasa dingin dan terbujur kaku. Rasanya pasti seperti mimpi buruk. Persis seperti yang dirasa Raesha saat ini. Mimpi terburuk yang pernah dialaminya sepanjang hidup.

Adli membiarkan pundaknya turut menanggung beban Raesha. Ia menggenggam tangan Raesha erat. Saat ini dia rela semua keluh kesah keluarganya, biar dia yang menanggungnya.

Suara langkah kaki dua orang, menghampiri mereka. Saat melihat yang datang adalah Zhafran dan Yunan, Adli nampak gugup.

Sementara Yunan yang didorong Zhafran di kursi roda, kelihatan terkejut melihat Raesha bersandar di bahu lelaki. Namun raut terkejutnya perlahan menghilang saat melihat lebih dekat dan tersadar bahwa lelaki jangkung dan tampan itu ternyata adalah Adli.

"K-Kak Yunan," panggil Adli seraya mengambil jarak dengan Raesha. Meski Raesha adalah saudara sedarahnya, entah mengapa dia merasa segan kalau Kak Yunan sampai melihat dirinya terkesan mesra dengan Raesha.

Adli berdiri dan menghampiri Yunan. Mencium tangan Yunan. "Kakak pakai kursi roda?" tanya Adli heran.

"I-ya. O-tot ma-sih ka-ku," jelas Yunan tersenyum.

"Biar aku saja yang dorong, Ustaz," kata Adli pada Zhafran, merasa tak enak jika orang di luar keluarga mereka, malah yang mendorong kursi roda Yunan.

"Biar saya saja. Kita berbagi tugas. Saya tahu, kamu pasti sibuk seharian ini. Mungkin sampai beberapa hari ke depan," jawab Zhafran tersenyum ramah.

Jawaban itu membuat Adli tercenung heran. Kenapa terdengar seolah Zhafran mengikuti kegiatannya sejak siang tadi saat dia menerima telepon dari Ustadzah Mia, hingga detik ini yang seolah kesibukan tak henti mengepung dirinya?

"Makasih, Ustaz Zhafran," ucap Adli membungkuk sopan.

"Ini memang sudah tugas saya," kata Zhafran.

"Zha-f-ra-n a-da-lah ke-lu-ar-ga ki-ta. Ja-ngan sung-kan," kata Yunan pada Adli.

"Ah ... iya," gumam Adli sambil tersenyum pada Zhafran. Melihat cara Zhafran melayani Yunan, di mata Adli, Zhafran malah terlihat lebih dari sekadar keluarga. Kadang keluarga sendiri bahkan belum tentu ridho menolong.

ANXI EXTENDEDWhere stories live. Discover now