278 - The Sultan

236 70 7
                                    

.

.

Dalam Islam, membicarakan keburukan orang lain, setara dengan memakan daging saudara sendiri. Apalagi jika yang dibicarakan adalah seorang ulama.

Daging ulama 'beracun'.

~ Habib Jindan bin Novel Jindan

.

.

***

Elaine masih syok pasca mendengar cerita ajaib itu dari Adli.

"Kamu pasti gak tahu, kalau aku dulu waktu kecil pernah jadi ... prajuritnya Kak Raesha, untuk membebaskan Kak Yunan yang disekap di lantai atas rumahku!"

Adli cengar-cengir, menikmati keterkejutan Elaine.

"O-Om bercanda, ya?" tebak Elaine dengan tawa kaku.

Adli menggeleng. "Enggak. Itu beneran terjadi. Waktu itu -- "

Elaine nampak heran melihat Adli berhenti bicara.

"Pokoknya, intinya, pernah ada kejadian begitu. Dulu sekali. Sekarang, itu tidak penting lagi," lanjut Adli yang memutuskan tidak akan menceritakan detailnya pada Elaine, karena khawatir kualat pada Yunan. Jika dia menceritakan pada Elaine tentang hubungan antara Yunan dan Raesha dulu, artinya dia menyampaikan aib Yunan dan Raesha pada putri kandung Yunan. Kemungkinan besar, Yunan tidak menceritakan bagian-bagian tertentu, seperti, bahwa Yunan dan Raesha dulu pernah pacaran. Terlebih, Yunan sekarang adalah seorang ulama. Meng-ghibah-i ulama, efeknya sangat buruk bagi yang meng-ghibah-i. Dalam Islam, membicarakan keburukan orang lain, setara dengan memakan daging saudara sendiri. Apalagi jika yang dibicarakan adalah seorang ulama. Daging ulama beracun, dalam koridor pembahasan tentang ghibah.(1)

Elaine merengut. Om Adli nyebelin, batinnya. Kalau mau cerita, jangan setengah-setengah. Kalau ragu-ragu, gak usah cerita sekalian.

"Jangan cemberut, dong. Nanti cantiknya ilang, lho," goda Adli dengan kedipan mata.

Elaine membuang muka, tak ingin ekspresi malu di wajahnya tertangkap basah.

.

.

Bandara Soekarno Hatta cukup ramai sore ini. Pesawat yang membawa Yunan dan Arisa, baru saja mendarat. Keduanya berjalan menuju terminal kedatangan. Masing-masing menyeret koper.

Yunan bersin tiba-tiba. Dia susulkan dengan hamdallah.

"Yarhamukallah," sahut Arisa yang berjalan di sampingnya.

"Kamu pilek?" tanya Arisa.

"Enggak. Tiba-tiba aja bersin," jawab Yunan sambil mengusap hidung.

"Ada yang ngomongin kamu, kali," canda Arisa terkikik geli. Yunan hanya merespon dengan tarikan di salah satu ujung bibirnya.

Mereka tiba di terminal kedatangan. Seorang pria tegap mengenakan jas, celana panjang dan kacamata hitam, segera menghampiri mereka.

"Tuan Muda Yunan dan Nyonya Arisa?" tanya pria itu seolah memastikan.

Yang modelnya kaku seperti terminator begini, pasti body guard keluarga Danadyaksa, tebak Yunan. Yoga memang bilang akan menyuruh supirnya untuk menjemput Yunan dan Arisa di bandara.

"Iya benar," jawab Yunan tersenyum.

"Mari, Tuan Muda. Mobil parkir di sebelah sana," kata pengawal bertubuh bidang itu, dengan senyum kaku. Bisa senyum juga ternyata, pikir Yunan.

Koper Yunan dan Arisa kini diambil alih oleh body guard itu. Yunan sempat melihat sesuatu terselip di saku celana pria itu. Pistol. Benar-benar memang, pengawal keluarga Ayah Yoga.

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang