388 - Taman Bermain

197 61 10
                                    

.

.

Maka tidak sepatutnya kita menghakimi seperti apa semestinya cara seorang hamba mencintai Allah.

.

.

***

Taman bermain di bilangan Kemang, Jakarta Selatan itu, tidak terlalu padat karena hari ini belum weekend. Jika Sabtu Minggu tiba, taman bermain ini terkadang disewa untuk acara ulang tahun anak-anak, sehingga tidak dibuka untuk umum. Jika sedang tidak disewa, pengunjung di akhir pekan membludak hingga taman bermain jadi kurang nyaman untuk bersantai.

Berhubung hari ini Raesha sedang tidak ke studio, maka hari ini adalah hari yang tepat untuk mengajak anak-anak rekreasi. Ditambah lagi, harga tiket masuk diskon lima puluh persen di hari biasa. Heuheu. Maklum, Raesha masih berpegang pada ajaran Ilyasa, untuk mendidik anak-anak mereka dengan hidup seperlunya dan tidak berlebihan.

"Tidak semua anak bisa tetap peka dengan kemiskinan di sekitar mereka, jika mereka sendiri hidup bergelimangan dengan kemewahan dan kesenangan. Tidak sedikit anak-anak yang menjadi sombong dan tidak segan meledek temannya yang berasal dari keluarga miskin."
Perkataan Ilyasa itu, yang diingat terus oleh Raesha.

Raesha sendiri, belum pernah merasakan hidup di bawah perekonomian standar keluarga Indonesia. Dulu waktu ibunya belum menikah dengan Yoga Pratama, bisa dikatakan Raesha masih hidup sedikit di atas rata-rata, meski pasca Farhan wafat, perekonomian keluarga mereka sempat morat-marit dan Erika sempat berutang kesana-kemari, namun akhirnya semua utang itu lunas saat Erika mengikuti saran Yunan untuk menjual rumah mereka dan pindah ke kontrakan pinggiran Jakarta.

Begitu Erika menikah dan mereka pindah ke kediaman keluarga Danadyaksa, kehidupan Raesha berubah total. Ia mendadak menjadi tuan puteri di rumah yang bagai istana di negeri dongeng itu. Tapi kondisi itu tidak membuat Raesha menjadi sombong, mungkin karena Erika terus mengingatkannya bahwa mereka dulu pernah susah. Dan Erika juga sering mengajaknya mengunjungi dan menyantuni fakir miskin serta yatim piatu. Mengajari dengan memberi contoh nyata. Berbagi tanpa takut miskin. Erika yang sepintas tidak terlihat alim itu, sebenarnya punya cita-cita ingin dekat dengan Nabi Muhammad kelak di akhirat. Motivasi itu yang membuat Erika semangat bersedekah dan menyantuni anak yatim.

Yoga dan Adli punya caranya sendiri untuk membaktikan diri mereka pada umat. Erika juga punya caranya sendiri. Begitu juga dengan Yunan, Raesha dan Ilyasa, punya caranya masing-masing.

Tiap insan yang memiliki iman dalam dadanya, punya tali sambung masing-masing dengan Tuhannya. Masing-masing punya keunikan. Maka tidak sepatutnya kita menghakimi seperti apa semestinya cara seorang hamba mencintai Allah.

"Ibu!! Aku mau main air!" kata Ismail antusias melihat pancuran air di tengah taman bermain.

"Aku ikut, Kak!" kata Ishaq manja.

"Jagain adikmu, Ismail! Ibu duduk di kafe, ya," kata Raesha sambil meletakkan tas berisi baju ganti dan perlengkapan lainnya.

"Iya, Bu! Ayo, Ishaq!" Ismail menarik tangan Ishaq, setelah mereka melepas baju dan hanya memakai pakaian renang, meski mereka tidak akan berenang sebenarnya, melainkan hanya  ingin main air saja.

Raesha memasukkan baju kedua putranya, ke dalam tas. Memesan jus jeruk dingin, lalu tak lama menikmati minuman dingin itu sambil duduk santai di kafe outdoor. Tersenyum saat melihat Ismail dan Ishaq jejingkrakan di bawah pancuran air, tertawa-tiwi bersama anak-anak kecil lainnya. 

"Assalamu'alaikum, Ustadzah."

Sapaan itu membuat Raesha menoleh ke samping. Dua orang ibu muda, nampak menatap harap-harap cemas ke arahnya.

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang