379 - Palm Court

167 64 13
                                    

.

.

"Tanah itu pantas dihargai empat puluh juta per meter persegi.

Tapi karena saya kasihan pada anda, jadi --"

.

.

***

Sepatu boots beludru dengan hak tujuh senti yang dikenakan Elaine, beradu di lantai marmer. Tiap langkahnya membuat Elaine makin gelisah. Gerbang restoran Palm Court, terbuka lebar seolah menyambut kedatangan mereka. Elaine, Adli dan kedua staf Adli yang berjalan di belakang mereka berdua.

Begitu memasuki gerbang besi bergaris-garis menyilang  dengan dekorasi bunga matahari yang dicat keemasan, interior restoran bergaya eklektik modern membuat Elaine tercengang. Sulit untuk tidak terlihat syok ketika berada di dalamnya. Langit-langit menjulang tinggi, dengan tiang-tiang melengkung menjadi rangka ruangan, bertepian warna emas, menopang ruang terpusat bersegi banyak. Kursi-kursi berlengan a la Eropa, mempermewah suasana. Dan yang paling cantik dari ruangan itu, adalah lampu kristal yang sepintas mirip kupu-kupu transparan yang terbang berkelompok, namun ketika dilihat lagi, bentuknya mirip dedaunan pohon palem. Bias cahaya lampu kekuningan, memberi kesan hangat, namun tidak bagi Elaine yang tetap merasa tegang dan berdebar-debar jantungnya.

Kedua staf Adli, juga terlihat kagum dengan interior restoran, mengedarkan pandangan mereka. Satu-satunya yang sorot matanya tetap datar, hanya Adli. 

Mata Adli segera menangkap kerumunan di tengah ruangan. Setidak-tidaknya, ada sepuluh orang di sana. Meja-meja yang telah di-booking itu, ada sekitar tujuh atau delapan. Ruangan itu tidak terlalu luas memang, tapi luar biasa mewahnya. Berhubung ini restoran milik hotel, Dalton -- CEO PT Inti Properti Tbk -- pasti tidak bisa mem-booking seluruh ruangan, karena restoran itu tetap harus bisa digunakan oleh para tamu yang menginap. Tapi usaha Dalton untuk mem-booking separuh dari kapasitas meja di ruangan, pastinya memerlukan uang yang tidak sedikit.

Dalam sekali lirik, Adli bisa mengenali siapa bos mereka. Dalton Ryan Tedja. Bertubuh altetis, berkulit putih, memiliki rahang tegas dan kumis tipis. Tampangnya lumayan, mesti tidak seganteng Adli. Campuran suku Jawa dan Cina, nampak kentara di wajah Dalton. Pria yang lebih tua mungkin lima tahun dari Adli itu, mengenakan jas dolce gabbana abu bermotif floral dan kerah hitam bold, serta bros di saku kirinya. Baru ketika makin dekat, Adli bisa melihat bahwa bros itu sebenarnya adalah pelat keemasan berbentuk lebah bermahkota. Entah mengapa, lebah itu terlihat mengganggu di mata Adli. 

Seorang pria yang diyakini adalah staf Dalton, berbisik di belakang telinga Dalton. Dalton seolah sedang men-scanning Adli dari ujung rambut hingga ujung kaki. Meski tampak enggan, Dalton akhirnya memutuskan berdiri, menyambut kedatangan Adli. The power of baju bermerek dan dandan habis-habisan. Coba kalau Adli dan Elaine datang dengan baju seadanya, bisa dipastikan Dalton akan tetap duduk dan tidak sudi menyambut kedatangan mereka.

"Pak Adli?" tanya Dalton seolah berbasa-basi. Adli yakin, pria ini pasti sudah mencari tahu tentang dirinya, saat mendengar bahwa Elaine sang putri pemilik tanah tidak akan datang sendirian.

"Ya. Benar. Nama anda --," kata Adli, pura-pura tidak pernah mencari tahu tentang Dalton.

"Kenalkan. Saya Dalton Ryan Tedja. CEO PT Inti Property Tbk," ucap Dalton menyodorkan tangan meski dengan tampang kecut. Baru kali ini ada orang yang tidak kenal siapa dirinya, sampai dia harus memperkenalkan diri.

"Oh. Adli Pratama Danadyaksa. CEO Danadyaksa Corp," sahut Adli enteng, sambil menjabat tangan Dalton erat.

Satu kata 'oh' dari Adli, terdengar menyebalkan. Bahkan Elaine bisa melihat pria bernama Dalton itu tidak suka mendengarnya. Adli memang jagonya membuat orang kesal.

ANXI EXTENDEDWhere stories live. Discover now