237 - Handsworth

265 93 6
                                    

.

.

Jam besar di luar gerbang, kini menunjuk ke angka dua belas tepat.

.

.

***

"Kita sudah sampai. Berhenti di sini, Mahzar," kata Yunan, membuat Arisa dan Mahzar terheran-heran.

Di hadapan mereka, adalah gerbang taman, dengan tulisan Handsworth Park terpampang di depannya. Gerbang besi bergaya klasik itu, nampak angker di bawah cahaya redup bulan purnama.

Mahzar menelan ludah. "S-Syeikh yakin? Saya tidak melihat bangunan atau rumah dari sini. Di mana lokasi pengajiannya?" tanya pria itu dengan suara gemetar.

"Yakin. Saya turun dulu. Tunggu saja di sini. Mungkin sejam atau kurang dari itu, pengajiannya selesai insyaallah," jawab Yunan bersiap turun dari mobil.

"S-Sayang! Aku ikut!" kata Arisa menahan lengan suaminya.

"Tidak usah. Kamu di sini saja," Yunan memaksa.

"T-Tapi ... ," mata Arisa gelisah menatap taman yang makin ke dalam makin lebat seperti hutan belantara. Pencahayaan yang sangat minim, membuat Arisa ngeri melihatnya.

"Sebentar saja, oke? Tunggu di sini," tegas Yunan, membuat Arisa tak punya pilihan selain menurut pada suaminya.

Yunan turun dari mobil. Berjalan lurus ke arah gerbang. Angin dingin berembus, menyibak jubah dan ujung sorban putihnya melambai.

Arisa dan Mahzar terkejut saat gerbang yang tadinya tertutup itu, tiba-tiba terbuka lebar dengan sendirinya, seolah memang sudah menanti kedatangan Yunan. Jam besar di luar gerbang, kini menunjuk ke angka dua belas tepat. Setelah Yunan memasuki taman, gerbang kembali menutup. Wajah Arisa dan Mahzar pucat melihatnya.

"Saya tunggu di luar, Ummi," kata Mahzar pada Arisa.

"Oke," sahut Arisa yang paham bahwa Mahzar merasa tidak nyaman berdua saja dengannya di dalam mobil.

Arisa berdebar menunggu suaminya di dalam mobil. Tidak! Dia ingin tahu ke mana suaminya sebenarnya! Mana ada undangan pengajian tengah malam buta begini, di taman gelap-gelapan pula??

Mahzar heran saat melihat Arisa turun dari mobil.

"Ummi mau ke mana?" tanya Mahzar berdiri dari duduknya di tepi trotoar.

"Nyusul suami saya," jawab Arisa.

"L-Lho? Tapi tadi Syeikh bilang --," ucap Mahzar terbata.

"Saya cuma mau lihat sebentar. Kamu di sini saja, Mahzar!" seru Arisa saat membuka gerbang.

Mahzar bengong. Sejujurnya dia juga kepo setengah mati. Mana ada pengajian tengah malam begini, di tengah taman pula? Ingin rasanya mengintip Syeikh sedang apa, tapi tidak berani.

.

.

Arisa gemetar saat melangkah makin dalam ke tengah area taman. Pohon-pohon besar mengelilinginya. Beech yang mirip beringin, pohon oak dan cemara, sesekali bergoyang pelan mengikuti embusan angin dingin. Arisa tertutup rapat dengan cadar padahal, namun hawa dingin terasa menusuk. Ke mana suaminya sebenarnya? Belum nampak tanda-tandanya.

Wanita itu berjalan terus hingga netranya menangkap kerlap-kerlip yang ternyata adalah pantulan sinar rembulan di permukaan air danau. Tepat di tepian danau itu, ada semacam gazebo bergaya kerajaan klasik zaman Victoria. Suaminya ada di sana, melangkah anggun menaiki gazebo itu yang kini beralih fungsi menjadi mimbar ceramah.

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang