274 - Manis

266 74 11
                                    

.

.

"Asal disenyumin kamu, es buahku pasti langsung auto-manis."

.

.

***

Erika memakaikan jas abu gelap ke suaminya. Bukannya Yoga tidak bisa memakainya sendiri, tapi Erika hanya ingin melayani suaminya meski hanya hal kecil.

Pria mengenakan jas putih panjang, berdiri di samping Yoga.

"Tolong dikondisikan emosinya ya, Pak Yoga. Hindari stress. Emosi melonjak-lonjak, bisa fatal untuk anda. Kita 'kan sudah lihat hasil lab kemarin. Hipertensi anda bisa berubah jadi jantung atau stroke. Kalau sudah begitu, penanganannya akan sulit."

"Iya, Dok. Tapi gimana caranya mengatur emosi, kalau saya tidak bisa mengatur kondisi di sekeliling saya," kata Yoga melengos pelan.

"Kamu ambil cuti dulu aja. Makanya, aku bilang juga apa. Biarin aja Adli take over perusahaan! Ini suami saya emang bandel banget orangnya, Dok!" omel Erika sekaligus mengadu.

"Jangan ngasal kamu! Adli belum siap take over perusahaan! Magangnya aja masih harus aku awasin!" balas Yoga gemas dengan istrinya. Pakai ngadu ke dokter segala.

Dokter pria itu terkikik geli. "Lalu, makanannya tolong diperhatikan, Pak Yoga. Hindari makanan yang digoreng."

"Yah, Dok. Saya suka gorengan. Gimana, dong?" keluh Yoga.

"Gak ada lagi makanan yang digoreng buat kamu! Aku akan minta koki masakin makanan yang dikukus dan dipepes, khusus buat kamu! Buat bekalmu ke kantor juga, nanti setelah kamu selesai cuti!" kata Erika sadis. Yoga manyun sedih.

Dokter tertawa lagi. "Juga, hindari makanan kalengan, minuman yang terlalu manis, dan daging olahan."

Yoga mendesah lelah. Selamat tinggal burger. Selamat tinggal sosis. Selamat tinggal ayam goreng, bebek goreng, dan semua yang digoreng. Beginilah kenyataan yang harus dihadapi pra-kakek-kakek seperti dirinya.

Yoga dan Erika keluar dari ruang rawat. Adli sudah mengurus pembayaran dan semua administrasi rumah sakit. Erika menggamit tangan suaminya, saat mereka berjalan di koridor rumah sakit, hingga ke dalam lift.

"Aku bisa jalan sendiri, gak perlu dipegangin kayak kakek-kakek," protes Yoga bersungut-sungut.

"Udah diem aja. Kamu emang udah jadi kakek-kakek sebelum waktunya. Terima aja kenyataan," omel Erika mengangkat dagu.

Muka Yoga merona malu. Sepertinya, umurnya jadi boros gegara dia dulu mati-matian bekerja untuk menyelamatkan perusahaan yang sempat di ujung tanduk. Waktu itu, dia lembur tiap hari secara membabi-buta. Efeknya, mungkin baru sekarang dia rasakan. Tubuhnya memang agaknya jadi rentan terhadap syok. Syok sedikit saja, bisa bikin hipertensinya kumat.

Yoga melirik istrinya yang masih nampak cantik. Kalau orang melihat Erika, tak ada yang menyangka kalau Erika sudah kepala lima. Pasti disangkanya Erika lebih muda sepuluh tahun. Malah pernah ada yang menebak usia Erika masih di akhir kepala tiga. Yoga jadi merasa terancam dengan perbedaan kondisi di antara mereka.

"Kamu kok masih cantik begini, sih?"

Komentar Yoga membuat Erika tersipu. "Apaan sih, tiba-tiba komentar gitu?"

Mereka keluar dari lift dan berjalan di lobi.

"Nanti kalo ada yang naksir kamu gimana? Aku udah mulai tua begini. Eh penampakanmu masih pantes buat ditaksir laki-laki umur tiga puluhan. Kok curang sih?" Yoga cemberut.

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang