345 - Pelantikan

216 72 4
                                    

.

.

Memang berbeda perkataan pebisnis yang menjalankan bisnisnya dengan melibatkan Allah. Tidak menjadikan keuntungan dunia sebagai tujuannya.

.

.

***

"Pak Adli, ada yang ingin menemui anda."

Adli yang sudah rapi dengan tuksedo hitam dan mawar merah disematkan di kantung jasnya, menoleh ke belakang.

"Siapa?" tanya Adli.

"Keponakan anda. Katanya, namanya Elaine," jawab staf panitia acara yang mengenakan kemeja putih dan celana hitam.

Rona bahagia menyapu wajah Adli yang berkulit cerah. "Biarkan dia masuk," ucap Adli segera.

Dalam hitungan detik, keduanya bertemu pandang, dan saling menahan napas lantaran mengagumi yang nampak di hadapan mereka. Bahwa Elaine cantik, Adli sudah tahu itu. Tapi malam ini dia sungguh terlihat berbeda. Adli tahu gamis dan hijab yang dibelikannya, akan terlihat sempurna di tubuh Elaine. Kini Elaine terlihat lebih dewasa dari umurnya. Sementara Adli sendiri, nampak lebih tampan dari biasanya. Entah karena tata rambutnya yang rapi klimis, membuat Adli terlihat tidak secuek biasanya. Alih-alih office look, penampilan Adli malam ini lebih seperti aktor film box office yang akan menerima penghargaan oscar.

Adli berdiri dari kursi rias dan menghampiri Elaine.

"Dosa gak sih, kalau kubilang kamu cantik banget malam ini?"

Pertanyaan yang mengarah ke gombalan itu, membuat Elaine mengerlingkan manik mata dan mencibirkan bibirnya sedikit.

"Tergantung niat Om," jawab Elaine. Jawaban yang terkesan mengambang.

Adli tertawa kecil. Terserah orang lain mau anggap dia gila atau apa. Tapi di matanya, remaja bernama Elaine ini nampak mempesona, bukan hanya sekadar fisik. Sesuatu pada kepribadiannya, memikat hati Adli. Karakter Elaine lebih dewasa dari umurnya. Dan Adli sendiri,  meski sok cool di luar, sebenarnya memiliki sifat kekanak-kanakan di dalam dirinya. Sesuatu yang jarang disadari orang lain. Tapi Elaine sepertinya bisa melihat sifat itu pada Adli.

"Aku gak bisa lama-lama di sini, Om. Ini, terimalah. Bunga ini adalah ucapan selamat dari kami semua. Eyang putri, Tante Haya, dan semua saudara Om, termasuk ... almarhum Eyang Yoga, Uyut Dana dan Om Ilyasa," ucap Elaine sambil menyodorkan buket bunga ke arah Adli.

Adli menerima buket bunga itu dengan campuran mimik bahagia dan haru. Seandainya mereka semua di sini. Yoga, Dana dan Ilyasa. Seandainya ...

Menyadari perubahan air muka Adli, Elaine segera menambahkan kalimatnya, "Abiku pernah bilang, kalau kita menyebut-nyebut atau mengingat-ingat orang-orang sholihin yang telah wafat, ruh orang sholihin itu sesungguhnya hadir di dekat kita. Kita berhusnuzon, insyaallah Eyang Yoga, Uyut dan Om Ilyasa yang telah wafat, adalah orang-orang saleh, atau setidak-tidaknya, orang-orang yang berusaha mengikuti orang saleh. Jadi kalau malam ini Om mengingat mereka dalam hati, ruh mereka insyaallah hadir di pelantikan Om malam ini."

Keheningan terasa kental di ruang rias itu. Adli menelan saliva susah payah.

"A-Aku harus pergi. Aku ucapkan selamat, Om. Aku yakin, Om insyaallah akan mampu menghadapi semua permasalahan perusahaan. Aku tahu mungkin ucapanku ini tidak penting, tapi aku mendukung Om dan akan terus menyemangati Om. Meski sudah tidak ada Eyang Yoga dan Uyut, Om tidak sendirian."

Ekspresi tersipu pada pipi Elaine, membuat tangan Adli mengepal. Elaine tertunduk malu dan hendak pergi dari ruangan itu. Dia tidak berani lama-lama berdua saja dengan Adli di sana.

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang