332 - Sepuluh Detik

232 78 12
                                    

.

.

Hanya demi ... apa tadi dia bilang? Sepuluh detik melihat wajah Elaine.

.

.

***

Adli turun dari mobil, dengan tas kerja di tangannya.

"Selamat datang, Tuan Adli," sapa Prama membungkuk hormat, bersama dengan empat pelayan yang mengapit pintu utama.

"Eyang hari ini makan?" pertanyaan pertama Adli. Ia memikirkan Dana terus, tapi seharian ini di kantor, dia sibuk pindah ruangan, lalu disela beberapa rapat. Nyaris dia tak sempat makan siang karenanya. Tadi sore Erika ternyata menelepon ponsel Adli, tapi Adli sedang tak ada di mejanya saat itu. Namun Adli belum sempat menelepon balik.

"E-Em ... belum, Tuan. Tadi siang saya antarkan makanan ke kamar Tuan besar. Tuan besar bilang, taruh saja di meja. Jadi saya taruh di meja. Ternyata pas saya cek sore, makanannya belum disentuh sama sekali. Saya adukan ke Nyonya Erika. Nyonya Erika berusaha membujuk Tuan besar untuk makan, tapi masih tidak mau juga. Makanya Nyonya Erika menelepon Tuan Adli tadi sore."

Adli menggumamkan istigfar. "Jadi Eyang belum makan sama sekali sejak siang??" seru Adli. Tadi pagi dia masih sempat memaksa Dana sarapan, meski Dana hanya mau makan setengah porsi.

"B-Belum, Tuan," jawab Prama gugup. Meski Adli temperamennya lebih adem ketimbang Yoga, tapi Prama tetap takut dimarahi, sebab selepas wafatnya Yoga, sekarang Adli jadi pemimpin di kediaman keluarga Danadyaksa.

"Tolong taruh di kamar saya. Saya mau ke kamar Eyang dulu," kata Adli menitipkan tas dan melepas blazer birunya sebelum menyerahkannya pada Prama.

"Baik, Tuan," sahut Prama saat menerima tas kerja dan blazer Adli.

"Dan tolong bawakan makanan ke kamar Eyang."

"Baik. Segera, Tuan." Prama memberi isyarat pada seorang pelayan, sebelum dia menuju kamar Adli.

Saat pintu kamar Dana dibuka, bahkan lampu kamar tidak dinyalakan. Adli menekan tombol saklar. Lampu menyala. Dana masih berbaring. Adli yakin, Dana tidak tidur. Karena jam tidur Dana tidak pernah sepanjang hari seperti ini.

"Eyang, kenapa gak makan dari siang? Eyang curang. Mentang-mentang aku sibuk di kantor. Ini sudah jam sepuluh malam, Eyang. Eyang harus makan sekarang, pokoknya!" kata Adli dengan nada memaksa.

"Eyang gak napsu makan," sahut Dana dengan suara lesu.

Adli mengernyitkan alis. Ia berjalan mengitari tempat tidur Dana, dan berlutut tepat di depan Dana. Tangan Adli ditempelkan ke kening Dana.

"Eyang sakit? Badan Eyang agak panas sedikit," tanya Adli cemas.

"Enggak. Eyang cuma mau tiduran aja. Gak mau apa-apa."

Jawaban yang membuat Adli makin cemas. Mereka semuanya jelas sedih dengan kepergian Yoga, tapi semuanya masih bisa melanjutkan hidup, meski terasa berat. Semua, kecuali Dana.

Pintu kamar Dana diketuk. "Tuan, saya bawakan makan malam untuk Tuan Besar."

"Masuk," sahut Adli.

Pelayan laki-laki itu masuk mendorong troli.

"Bawa ke sini," pinta Adli dengan isyarat tangan.

Troli kini berada tepat di samping Adli. Adli memindahkan nasi, semangkuk sup daging iga, dan segelas air dari troli ke nakas. Pelayan itu mohon diri, mendorong troli keluar ruangan.

"Hm ... dari aromanya aja, enak banget nih kayaknya. Eyang tahu 'kan, kalau koki kita jebolan hotel bintang lima?" goda Adli tersenyum.

"Hh ... malas makan nasi. Supnya aja," kata Dana, menyerah akhirnya. Entah mengapa, kalau dengan Adli, dia sulit menolak seratus persen.

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang