218 - Khidmah

275 93 12
                                    

.

.

"Syeikh, tolong izinkan saya berkhidmah padamu."

.

.

***

"Syeikh, di depan ada Mahzar. Datang dengan menyetir mobil taft milik Ustaz Umar. Mau mengantar Syeikh ke pesantren, katanya."

Yunan berkerut alisnya. "Ustaz Umar yang menyuruhnya?" tanya Yunan pada Zhafran.

"Tidak. Katanya, dia datang atas keinginannya sendiri. Tapi dia memang mendengar dari Ustaz Umar, kalau Syeikh ada jadwal mengajar di pesantren hari ini," jawab Zhafran yang pagi ini sudah rapi dengan baju koko dan celana panjang.

"Kamu mau berangkat sekarang?" tanya Arisa yang duduk lesehan di ruang makan bersama suami dan anaknya. Mereka baru saja sarapan.

"Iya sebentar lagi," jawab Yunan pada istrinya.

"Abi mau jalan-jalan ke mana? Aku ikut," pinta Raihan.

"Abi mau ngajar, sayang. Raihan sama Ummi aja ya. Kita nanti metik buah aja, gimana?" Arisa berusaha mengalihkan perhatian anaknya.

"Mau! Aku mau metik buah apel!" seru Raihan.

"Ayok. Kemarin Ummi lihat, ada buah apel yang sudah merah," ajak Arisa dengan suara ceria di balik cadarnya. Untungnya di bukit suluk banyak tanaman dan ikan-ikan di kolam yang bisa jadi hiburan untuk Raihan.

"Mahzar di depan?" tanya Yunan pada Zhafran, sambil berdiri dan mengenakan peci putihnya.

"Iya, Syeikh. Tadi saya persilakan masuk, tapi dia memilih duduk di bangku dekat kolam di luar masjid."

Yunan mengangguk, berdiri dan melangkah ke luar masjid. Melihat Yunan menghampirinya, Mahzar berdiri dan hendak mencium tangan Yunan, tapi Yunan menarik tangannya tepat sebelum Mahzar mencium punggung tangannya.

"Saya dengar dari Ustaz Umar, Syeikh ada jadwal mengajar di pesantren hari ini," kata Mahzar sopan.

"Iya. Saya baru berpikir mau berangkat menumpang pickup yang akan ke pasar," kata Yunan.

Mahzar terkejut mendengarnya. "Jangan, Syeikh. Masa' Syeikh naik mobil pasar."

Yunan tertawa geli. "Gak apa-apa, kok."

"Syeikh, tolong izinkan saya berkhidmah padamu," ucap Mahzar seraya membungkuk hormat.

Yunan terdiam menatap pria yang seumur dengannya itu.

"Saya bisa menyetir, punya skill multimedia dan bela diri. Saya berharap bisa berguna untukmu, Syeikh," imbuh Mahzar.

"Apa kamu masih punya ibu? Kamu punya istri dan anak?" tanya Yunan.

"Punya, Syeikh. Selama beberapa tahun ini, saya mengumpulkan nafkah untuk mereka, dengan bekerja di bidang videografis dan fotografi. Saya ingin terlibat lebih dekat dengan dakwah, tapi saya menyadari tidak punya kemampuan dakwah sebaik teman-teman santri yang lain. Saya sudah memikirkan ini baik-baik, dan saya sudah mendapatkan izin dari keluarga saya. Kalau boleh, saya rela tinggal di tempat suluk ini, dan hanya pulang seminggu sekali ke rumah. Kalau Syeikh ada urusan dakwah ke luar negeri, saya bersedia mengawal."

Yunan tersenyum. "Kheir, kalau keluargamu mengizinkan."

Mahzar tersenyum girang. Dulu saat Syeikh Abdullah masih ada, peran penting itu jatuh pada Ustaz Umar. Dan sekarang, dia akhirnya bisa mengawal dakwah penerus Syeikh Abdullah.

Yunan berangkat ke pesantren di Padang, disetiri Mahzar.

.

.

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang