311 - ICU

262 85 23
                                    

.

.

"Kamu suka banget ya, sama rambut gondrongku?"

"Iya."

"Kalau kamu suka, nanti aku panjangin sampe kayak Tarzan."

"Ya gak sampe begitu juga."

.

.

***

Erika menatap lesu ke arah suaminya yang terbaring tak berdaya, dengan selang infus dan alat EKG menyebalkan itu yang seolah sedang menakut-nakuti Erika lantaran kurva denyut jantung yang lemah itu bisa berubah datar kapan saja.

Erika merapatkan bibirnya. Wajah Yoga yang nampak menua di 55 tahun usianya, tidak membuat Yoga kehilangan ketampanannya. Erika masih juga dibuat kesal, tiap kali mereka nge-date bareng dan ada saja wanita usia kepala tiga yang lirak-lirik ke arah Yoga. Padahal mereka lebih cocok jadi anak Yoga.

Tangan Yoga digenggamnya, dan pipi Yoga disentuhnya. Jemari Erika lalu memainkan rambut panjang Yoga yang diurai. Rambut Yoga lembut sekali. Salah satu anggota tubuh favorit Erika dari Yoga : rambut gondrong Yoga.

Suatu hari, saking seringnya memainkan rambut Yoga, Yoga bertanya pada Erika, "kamu suka banget ya, sama rambut gondrongku?"

"Iya," jawab Erika sambil mencium rambut Yoga yang harum. Campuran lemon dan cedarwood. Maskulin.

"Kalau kamu suka, nanti aku panjangin sampe kayak Tarzan."

Senyum Erika langsung hilang seketika. "Ya gak sampe begitu juga,"

Tak percaya! Tak percaya rasanya dengan kata-kata dokter itu. Umur Yoga tinggal sehari atau dua hari lagi? Dokter itu pasti bercanda! Pasti!

Masih lekat di ingatan Erika, hari itu sepulang sekolah, di halaman belakang SMA, Yoga remaja yang rambutnya melanggar peraturan sekolah karena gondrong, terlihat gugup setengah mati saat berhadap-hadapan dengan Erika.

"Aku ... aku suka kamu. Jadilah pacarku, Erika."

"Gak mau."

"Kenapa? Kenapa kamu gak mau jadian denganku?"

"Karena aku gak punya perasaan apapun padamu."

Bukan Yoga namanya, kalau menyerah dengan penolakan. Buktinya, mereka akhirnya jadi suami-isteri juga. Meski harus melewati perjuangan belasan tahun, dan Yoga harus bersabar melihat Erika menjadi isteri pria lain sebelumnya. Jodoh tak akan ke mana, kata orang-orang. Yoga dan Erika telah membuktikannya.

Pandangan Erika mengabur. Bohong! Dokter itu nge-prank dia kah?? Mungkinkah dokter itu menyembunyikan kamera untuk merekam hasil prank-nya?

Erika menggeleng sambil istighfar. Saking tak bisa menerima kenyataan ini, Erika sampai su'uzon pada dokter yang tak bersalah.

Erika terkejut saat merasa jari tangan Yoga bergerak sedikit di genggamannya.

Perlahan kelopak mata Yoga membuka. Erika tersenyum semringah.

"S-Sayang!! Kamu sudah sadar??" seru Erika dengan ekspresi penuh harap. Boleh 'kan dia berharap kalau perkiraan dokter itu salah?

Sayang sekali hanya boleh ada satu orang yang berkunjung di ruang ICU ini, batin Erika. Rasa-rasanya ingin ia tunjukkan pada rombongan keluarga Danadyaksa di luar sana.

Yoga menyipitkan mata. Belum pernah dalam hidupnya, ia merasa tubuhnya tak keruan seperti sekarang ini. Otot-ototnya lemah. Kepalanya sakit, pusing hebat dan lehernya kaku. Bagaimana tidak pusing? Alat EKG memerlihatkan tekanan darahnya di atas dua ratus.

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang