267 - Antar

240 71 14
                                    

.

.

Kalau lelucon bisa membuat Elaine bahagia, Adli rela jadi T*kul Arw*na.

.

.

***

Elaine berdiri menatap rak sepatu di area foyer. Lambang madrasah tsanawiyah, tertempel di kantung seragamnya. Setelah empat tahun tinggal di kediaman Danadyaksa, tubuhnya kini lebih tinggi. Dibingkai jilbab putih, gadis itu nampak cantik, bahkan hanya dengan pulasan lip gloss pink dan bedak tabur di wajahnya.

"Sepatuku ... mana sepatuku?" gumam Elaine melongok mencari-cari sepatu, sambil menggigit bibir mungilnya.

Tetiba sepasang kaki laki-laki dewasa berkaus kaki hitam, berdiri di depannya. Elaine mendongak.

"Sepatumu di sini, Elaine. Mungkin ada yang mindahin, jadi kamu bingung, deh," kata Adli seraya mengambil sepasang sepatu feminin dengan aksen bunga di bagian atasnya, di ujung baris kedua rak sepatu.

Pipi Elaine merona, saat mengendus aroma parfum Adli, menyeruak dari tubuh Om-nya yang mendekat ke arahnya. Dan dengan suara yang terdengar seksi di telinga Elaine, keberadaan Adli yang baru sekian detik di ruangan yang sama dengannya, membuatnya semakin gugup.

"M-Makasih, Om. Biar aku yang --," ucap Elaine mengulurkan tangan, bermaksud ingin mengambil sepatunya.

Alih-alih menyerahkan sepatu itu pada sang empunya, Adli malah meletakkannya di dekat kaki Elaine yang sedang berdiri.

"Angkat kakimu," kata Adli terdengar seperti perintah.

"B-Biar saya aja, Om!" kilah Elaine yang mukanya merah padam.

Adli mendongak menatap lurus ke mata Elaine.

"Kubilang, angkat kakimu," ulang Adli.

Sorot mata Adli membuat Elaine histeris di dalam benaknya.

"I-Iya, Om." Elaine menyerah. Om Adli kalau sudah ada maunya, ...

Elaine mengangkat kaki kanannya dan memasukkan kakinya ke dalam lubang sepatu yang disodorkan Adli. Gadis itu menutup mukanya yang kini panas. Ingin menjerit rasanya.

"Pegangan di bahuku. Nanti kamu jatuh."

Merasa tak punya pilihan selain manut, Elaine menyentuh bahu Adli sambil membuang muka. Pagi-pagi begini, jantungnya sudah berolahraga berat.

"Sepatumu cantik. Feminin banget. Aku suka."

Meski pandangan Adli tertunduk karena tertuju pada sepatu Elaine, namun Elaine bisa melihat dengan jelas ekspresi malu-malu di wajah Adli. Belakangan Adli jarang menyebut dirinya 'Om' di depannya. Seperti yang barusan, Adli memilih kalimat 'aku suka' ketimbang 'Om suka'.

Kini kaki kiri Elaine berganti memasuki lubang sepatu.

"E-Ehm."

Bagai kepergok, Adli dan Elaine menoleh ke arah suara deheman yang jelas-jelas disengaja untuk menggoda mereka.

"Kayak adegan Cinderella aja," komentar Haya cekikikan.

"M-Makasih, Om," ucap Elaine mengambil jarak dan membungkuk sopan. Gadis itu mendadak mencari sesuatu di dalam tasnya.

"Kenapa?" tanya Adli yang berdiri setelah selesai memakaikan sepatu Elaine.

"Ada yang ketinggalan di kamar. Sebentar ya, Om," jawab Elaine dengan ekspresi merasa bersalah campur malu. Dia tidak ingin kelihatan pelupa di depan Om Adli, namun apalah daya.

"Ya udah. Ambil barangmu di kamar. Gak usah dilepas sepatunya. Aku tungguin, kok. Sampe kapanpun kutunggu," sahut Adli sambil tersenyum tebar pesona, memasukkan tangannya ke kantung celana.

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang