316 - Wasiat

232 86 23
                                    

.

.

"Ikhlas itu pemberian Allah. Minta pada Sang Pemiliknya."

.

.

***

"Maafin aku, Ayah. Aku dulu bandel waktu kecil. Sering bikin Ayah naik darah."

Raesha duduk di samping Yoga. Kepalanya tertunduk. Tangannya meremas kain gamisnya di bagian lutut. Matanya terpejam dan satu demi satu tetes air mata, membasahi jilbabnya.

Yoga tersenyum. "Enggak, sayang. Kamu gak bandel. Cuman dulu kamu pernah salah pergaulan aja," hibur Yoga.

"Ayah harap kamu sabar, sayang. Semoga Allah kasih kamu ketabahan menghadapi semua ini. Ayah minta maaf. Ayah juga tidak berharap ini terjadi bersamaan dengan meninggalnya Ilyasa. Tapi, Ayah bisa apa?" kata Yoga terisak.

Raesha menggenggam tangan Yoga. "Ayah jangan pesimis dulu. Siapa tahu prediksi dokter salah, lalu tiba-tiba Ayah sembuh."

Yoga memaksakan dirinya tersenyum. Sadar bahwa sebagian besar syaraf geraknya telah mati, Yoga tidak merasakan tanda-tanda kesembuhan itu pada dirinya, tapi ia diam saja, tak ingin mematikan harapan di hati keluarganya.

"Raesha, Ayah sudah mengurus hibah untukmu. Ada sejumlah uang yang nilainya telah Ayah sampaikan ke notaris. Nanti Adli dan ibumu akan mengurusnya untukmu."

Raesha menggeleng. "Jangan bicarakan itu, Yah," katanya dengan air mata berlinang.

"Ini harus dibahas, sayang. Biar jelas semuanya. Lalu ada satu lagi, Ayah mencemaskanmu. Kamu janda sekarang. Warisan dari Ilyasa, madrasah itu, nilainya sangat besar. Kamu bukan hanya cantik dan cerdas, tapi juga sebenarnya kaya raya. Mungkin akan ada banyak laki-laki yang akan mengincar kekayaanmu. Ayah minta kamu sangat berhati-hati, sayang. Ayah takut sekali, kamu akan dimanfaatkan oleh laki-laki yang tidak benar-benar mencintaimu." Tangis Yoga pecah. Dia khawatir perjuangan panjang Ilyasa untuk membangun madrasah itu, akan berakhir menyedihkan jika Raesha dinikahi oleh laki-laki tamak harta. Pihak keluarga tentunya tak akan bisa berbuat banyak, sebab jika Raesha sudah menjadi istri pria lain, maka tentunya ia berada di bawah kendali suaminya. Dan secara syari'at, istri wajib menurut pada suami.

Ini sungguh situasi yang pelik. Seandainya Yunan single. Seandainya ... Yoga pasti akan langsung meminta Yunan segera memperisteri Raesha, setelah Raesha nampak mulai bisa merelakan kepergian Ilyasa. Itu adalah cara terbaik menyelamatkan Raesha dari kemungkinan dia jatuh cinta dengan laki-laki lain yang belum tentu punya niat baik pada Raesha. Cinta Yunan pada Raesha tak diragukan oleh Yoga. Dan Yunan juga bukan orang yang rakus harta. Pernikahan mereka berdua juga bisa menyelamatkan madrasah itu diselewengkan oleh orang di luar keluarga mereka. Tapi apalah daya. Yunan sudah punya Arisa. 

"Insyaallah aku akan hati-hati, Ayah. Aku tidak memikirkan itu sama sekali. Aku masih ... hatiku masih sakit sekali membayangkan Ilyasa mati dibunuh dengan racun! Jahat! Jahat sekali orang itu, Yah! Aku tidak terima! Aku tidak terima dunia akhirat!!" Raesha meremas jilbab di dadanya, dengan pundak bergetar saat tangisnya membanjir.

"Sabar, sayang. Sabar. Ayah juga sebenarnya sedih membayangkan Ilyasa mati sendirian tanpa ada kita di dekatnya. Dia mati saat dibawa ambulans ke rumah sakit. Sempat kesakitan sebelum pingsan. Sedih sekali rasanya," ucap Yoga turut menangis bersama Raesha.

"Tapi kita harus berusaha menerima ini. Ini takdir dari Allah, sayang. Kita harus berusaha," hibur Yoga.

Raesha menundukkan pandangan. Ia telah menangis hingga matanya bengkak. Bulu matanya yang lentik basah dan sesekali air matanya jatuh dari ujung bulu matanya, saat matanya berkedip.

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang