252 - Delhi

397 90 12
                                    

.

.

"Saya sangat mengerti, pastinya tidak mudah menahan diri. Tapi memang demikianlah cobaan orang beriman."

.

.

***

"Tante duduk di depan?" tanya Elaine bingung, saat melihat Haya membuka pintu depan mobil, di samping supir.

"Iya. Aku sebenernya suka duduk di depan," kata Haya beralasan sambil tersenyum manis.

"Oh," gumam Elaine yang gugup, berdiri di samping Adli.

Adli membukakan pintu belakang dan membiarkan Elaine masuk mobil lebih dulu darinya. Rasa Adli bagai melayang saking bahagia. Akhirnya kesampaian juga membukakan pintu untuk Elaine, perlakuan a la tuan puteri yang biasa dilakukan Ayahnya kepada Erika. Romantis sangat, menurut Adli, ungkapan cinta Yoga pada Erika. Meski bukan pengantin baru, tapi gregetnya masih dapet. Kadang Adli dan Haya baper melihat keromantisan orang tua mereka. Yoga mencintai ibu mereka sepenuh jiwa raga. Memaklumi banyak kekurangannya. Meski ada saja yang mereka ributkan tiap harinya, tapi Yoga selalu memperbaiki suasana di akhir hari menjelang tidur. Ikatan mereka, adalah love goal Adli dan Haya. Kelak jika memiliki pasangan hidup, mereka mengharapkan hubungan romantis semacam itu.

Pintu belakang mobil tertutup. Mobil mereka berjalan keluar dari gerbang rumah. Adli dan Elaine duduk berdampingan, salah tingkah. Jemari Elaine meremas rok seragamnya. Merasakan hawa panas dari tubuhnya, yang dia sendiri tak mengerti kenapa.

Adli menoleh keluar kaca mobil. Mengatur napas, sebab jantungnya berisik sejak membukakan pintu untuk Elaine, hingga detik ini saat Elaine duduk di sampingnya. Waktu mereka bertemu di tempat suluk, tegangnya berbeda. Tidak sampai seperti ini.

Tidak boleh! Aku tidak boleh terlalu kentara kalau naksir dia! Elaine akan menganggapku aneh, kalau sampai tahu kalau aku, Om-nya ...

Haya nyaris tertawa di depan. Dia sengaja memilih duduk di depan. Ingin memberi ruang untuk kakaknya dan Elaine. Mana tahu 'kan, bibit-bibit cinta di antara mereka bisa bertumbuh sedari sekarang, lalu kelak keduanya berjodoh?

"Gimana hari pertamamu di madrasah kemarin, Elaine?" tanya Adli memecah hening. Adli memutuskan membuka percakapan, untuk mengurangi rasa gugupnya.

"Alhamdulillah lancar, Om. Aku suka suasana kelasnya. Teman-temanku baik-baik semua. Tante Raesha, Om Ilyasa, Ismail dan Ishaq, semua menyambutku. Tante Haya mengajakku berkeliling. Kami makan bersama di kantin. Di kantin makanannya ada macam-macam. Aku cocok sama rasanya. Aku betah. Eh --," Elaine menutup mulutnya. "Maaf. Aku terlalu cerewet, ya," kata Elaine malu. Entah mengapa, kalau di hadapan Om Adli, dia selalu ingin nampak sempurna. Takut kalau Om Adli melihat kekurangannya.

Adli tertawa renyah. "Enggak, kok. Kalau kamu yang cerewet, Om seneng liatnya."

Di depan, Haya mencibir. Halah. Giliran Elaine yang bawel, kakaknya gak protes. Giliran dia yang bawel, dihina macam-macam. Dasar bucin!

"Syukurlah kalau kamu suka sama madrasahmu. Apa yang kamu suka, Om juga suka. Suka banget," kata Adli dengan sorot mata penuh kelembutan.

Muka Elaine merah merata. Kenapa Om Adli menatapnya seperti itu? Jadi merinding tubuhnya.

Haya menatap ke jalanan di depannya, dengan ekspresi datar. Dasar Kakak playboy cap kapak! misuhnya dalam hati.

.

.

Ilyasa keluar dari kamar mandi. Dilihatnya di depan meja rias, istrinya yang cantik sedang memulas wajahnya dengan bedak tabur tipis, lalu mengoleskan lip gloss.

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang