340 - Video Call

215 70 14
                                    

.

.

"Aku gak bermaksud video call sama dia!"

.

.

***

Pengaduk kopi berputar di dalam cup kopi. Menyatukan pahit dan manis. Raesha menghela napas. Embusan angin terasa di teras luar mini market. Dipikir-pikir, ini pertama kalinya dia nongkrong santai semenjak Yunan koma. Sungguh, saat itu tak ada yang menyangka, kalau Kak Yunan akan selamat dari pendarahan otak, lalu malah Ilyasa dan Yoga yang menemui ajalnya. Hidup terasa sangat janggal dirasa oleh Raesha, semenjak itu. Seperti pahit dan asam menjadi satu.

"Diminum kopinya, Tante. Kopi terasa mantap kalau diminum panas-panas. Kalau sudah dingin, rasanya seperti bukan kopi," kata Raihan tersenyum.

Raesha nampak malu, kepergok melamun, lagi dan lagi. Pikiran dan tubuhnya seperti terpisah, sejak Ilyasa tak ada. Raesha menyesap kopi robusta itu sedikit, lalu sedikit lagi. Kafein memasuki aliran darahnya, menyentak kesadarannya.

"Kerasa, enggak, Tante?" tanya Raihan penasaran.

"Hm? Apanya?" Raesha balik bertanya.

"'Greng'-nya kopi," jawab Raihan dengan cengiran.

Raesha tersenyum. Merasa terharu. Dia paham, orang-orang mengkhawatirkannya, termasuk Raihan.

"Iya, kerasa," sahut Raesha menatap ke arah cangkir kertas yang ada di genggamannya.

"Abi suka sekali kopi hitam."

Pernyataan tentang Yunan itu, terdengar random di telinga Raesha. Mungkin karena kemarin dia baru saja membaca surat Ilyasa, Raesha jadi salah tingkah, teringat beberapa kalimat di surat itu yang menceritakan tentang Yunan. Perkelahian di dalam lift Hotel Sultan waktu itu, yang ternyata mengungkap perasaan Yunan pada dirinya.

"Berapa cangkir sehari? Maksud Tante, Abimu biasa minum kopi berapa cangkir sehari?" tanya Raesha sembari menyesap kopinya sekali lagi.

Raihan memicingkan mata. Manik matanya bergulir ke atas, berpikir. "Hm ... pagi setelah sarapan, sekali. Setelah Dhuha, sekali. Setelah makan siang, sekali. Dari Maghrib ke Isya, sekali. Kalau sedang bergadang, nambah sekali lagi. Jadi ... bisa lima cangkir sehari," jawab Raihan.

Raesha tersenyum sambil menaikkan salah satu alisnya. "Waw. Sepertinya Abimu tidak punya maag," ucapnya setengah bercanda.

Raihan tertawa. "Enggak. Alhamdulillah Abi gak punya maag." Tawa Raihan mereda, menyisakan senyum lebar.

"Aku seneng liat Tante senyum. Tante makin cantik kalau senyum," puji Raihan sambil bertopang dagu.

Raesha melengos. "Rayya bakal ngambek kalo denger kamu ngomong begitu," kata Raesha dengan tatapan meledek.

"Ah enggak! Rayya bakal ngerti. Aku dari dulu anggap Tante kayak Ummiku sendiri!" kilah Raihan yakin, seraya melipat tangan.

Raesha tertawa geli. "Raihan ... Raihan. Kamu kok beda banget ya, sama Abimu. Dipikir-pikir, Ummi juga karakternya gak kayak kamu. Lah, terus, sifatmu nurun dari siapa, ya?" tanya Raesha nampak sok berpikir keras.

"Tantee!! Aku ini beneran anak kandung Abi sama Ummii!!" protes Raihan dengan tangan menepuk permukaan meja.

Raesha tergelak. Raihan bahagia melihat ekspresi wajah tantenya. Untuk inilah, dia tadi mengusulkan agar mereka nongkrong dulu sebentar. Tantenya perlu suasana baru. Jangan melulu di rumah. Terutama di kamar tidur Raesha, yang pastinya mengingatkan Raesha akan Ilyasa yang baru saja wafat.

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang