315 - Wasiat

239 87 34
                                    

.

.

Ada yang memberi materi, ada yang memberi selain materi.

Masing-masing hanya sanggup memberikan yang ada padanya.

.

.

***

"Panggilkan aku Yunan," kata Yoga pada istrinya.

Erika memanggil Yunan untuk masuk ke ruang ICU. "Tapi, gimana, ya? Yang boleh masuk cuma satu orang," tanya Erika ragu. Sementara sedari tadi, Yunan didorong kursi rodanya oleh Zhafran.

"A-ku in-sya-Al-lah bi-sa do-rong kur-si-ku da-ri pin-tu," jawab Yunan sambil menoleh ke Zhafran.

"Kheir, Syeikh. Saya hanya akan dorong kursi Syeikh sampai depan pintu,"kata Zhafran sebelum mendorong kursi roda yang diduduki Yunan.

Hingga kursi roda Yunan berada tepat di depan pintu, Zhafran kemudian membukakan pintu.

"Ka-lau su-dah se-le-sai, nan-ti a-ku --"

"Saya akan tahu, kapan saya harus membukakan pintu untuk Syeikh," potong Zhafran dengan senyuman.

Yunan mengangguk, membalas senyum Zhafran. Dia selalu merasa tenang, dengan Zhafran berada di dekatnya. Sahabat, partner, sekaligus pengawal yang bisa diandalkan.

Yunan mendorong kursi rodanya dengan tangan. Untungnya, tangannya lebih kuat ototnya ketimbang kaki. Yunan telah memasuki ruangan. Di belakang Yunan, terdengar suara pintu ditutup oleh Zhafran.

Di luar ruangan, Erika nampak khawatir. Gimana itu? Yunan masih susah begitu bicaranya. Mungkin dia akan lama di dalam ruangan bersama Yoga.

.

.

"A-yah," sepenggal panggilan itu, cukup untuk membuat Yunan menangis lagi, setelah sisa air matanya sempat mengering tadi di luar ruangan.

Yunan menggenggam tangan Yoga dan mengecupnya lembut.

"Ma-af-in a-ku! Du-lu, wak-tu a-ku da-n Ra-e-sha per-nah de-kat, A-yah ber-ka-li-ka-li sa-kit! Ka-re-na a-ku!" Yunan menempelkan tangan Yoga di pipinya, menangis dengan hati pedih. Itu adalah penyesalan terbesarnya pada Yoga. Ada banyak yang lainnya, tapi kejadian masa lalu antara dirinya dan Raesha, adalah yang pernah memukul telak Yoga hingga dulu Yoga pernah pingsan lantaran tensinya naik. Itu juga yang memicu Yunan mengambil keputusan untuk putus dari Raesha. Puncaknya adalah saat malam dimana Raesha kesurupan. Malam itu, Yunan akhirnya hengkang dari kediaman Danadyaksa dan pindah ke sebuah kos dekat kampus tempatnya bekerja saat itu, sebelum ia akhirnya menikah dengan Arisa dan mereka berdua pergi ke Yaman untuk kuliah.

"Jangan pikirkan itu, Yunan. Itu sudah lama lewat," hibur Yoga tersenyum.

"Ta-pi, A-yah per-ta-ma ka-li ke-na se-ra-ngan hi-per-ten-si, ga-ra ga-ra a-ku!" lanjut Yunan dengan air mata membasahi tangan Yoga.

"Enggak, sayang. Ayah emang sudah darah tinggian sejak sebelumnya. Cuman munculnya kebetulan pas kejadian itu. Jangan menyalahkan dirimu. Ini bukan salahmu."

Yunan mencium telapak tangan Yoga. Tangan yang telah bekerja keras untuk membiayai pendidikannya selama ini. Tangan yang sama yang telah mengusap kepala anak yatim piatu seperti dirinya, mungkin ratusan kali selama umur hidupnya hingga kini.

"A-yah se-la-lu ka-sih a-ku ba-nyak. Ba-nyak se-ka-li. Ta-pi a-ku gak per-nah ka-sih a-pa a-pa!" Yunan terisak lagi. Ia ingin seperti anak-anak lain di luar sana, yang rutin menafkahi orang tuanya tiap bulan, tapi yang ada malah sebaliknya. Yoga yang mengiriminya tiap bulan. Bahkan di akhir tahun, Yoga memberikan bagian dari bonus yang Yoga dapatkan dari keuntungan perusahaan. Tiap kali Yunan menolak, Yoga selalu memaksa. Dan tiap kali Yunan ingin memberi, Yoga menolak.

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang