384 - Malik

176 60 13
                                    

.

.

"Kalau manusia hidup hanya mengandalkan rasa cinta dari manusia yang lain, maka akan ada banyak manusia yang bunuh diri, saya rasa.

Yang bisa mencegah semua itu, hanya iman, dan pengetahuan akan seberapa besar cinta Allah pada makhluk-Nya. 

Meski pengetahuan manusia yang teramat dangkal ini, tidak akan pernah bisa mengukur seberapa besar cinta-Nya. 

Tidak akan pernah bisa."

.

.

***

Supir membukakan pintu belakang mobil sedan hitam yang paling sering dipakai anggota keluarga Danadyaksa. Mobil default mereka. 

Yunan masuk ke dalam mobil. Telah berganti pakaian dengan kaus yang berbeda, tapi jaket tipisnya masih jaket yang sama yang dipakainya tadi saat naik pesawat.

Pintu ditutup. Mobil melesat keluar dari gerbang pertama, lalu melewati area hijau perkotaan. Kuburan almarhum Yoga, almarhum Ilyasa dan almarhum Dana, terlihat dari kejauhan. Yunan berharap sempat nyekar sebentar, besok setelah urusan tanah selesai. Karena besok lusanya, pagi-pagi sekali dia harus sudah bersiap-siap ke bandara. Tidak akan sempat nyekar sepertinya.

Yunan memandangi celah-celah pepohonan rindang di sepanjang area hijau. Lampu-lampu jalan yang kekuningan, menerangi dedaunan dan cabang-cabang pohon yang seperti jemari tangan. 

Hidup sungguh misteri. Bahkan bagi Yunan yang sebenarnya diturunkan madad Syeikh Abdullah. Tak pernah terpikirkan kalau dirinya pernah kritis, berada di antara hidup dan mati, tapi kemudian yang dipanggil malah Ilyasa dan Yoga, bukan dirinya. 

Yunan mengeluarkan ponselnya di kantung jaket. Teringat hendak menelepon seseorang.

"Assalamu'alaikum, Bu," sapa Yunan pada Erika.

"Wa'alaikum salam. Kamu sudah berangkat ke sini?" tanya Erika ceria. Terdengar jelas kalau Erika menunggu sekali kedatangan Yunan. 

"Ini lagi di jalan, Bu. Apa Raesha sudah pulang?"

"Belum. Tapi tadi Ibu berhasil telepon dia. Ternyata, mobilnya mogok dan terpaksa diderek ke bengkel."

"Terus? Dia di mana sekarang? Di bengkel?? Apa perlu aku jemput? Bengkel mana?" tanya Yunan panik. Ya Tuhan. Ibu hamil sendirian, mobil mogok, mobil diderek ke bengkel. Benar-benar, Rae. Apa tidak bisa Raesha diikat saja di dalam kamar, supaya tidak bisa keluyuran? 

"Gak perlu, Yunan. Dia bukan di bengkel, tapi diantar pulang sama Ustaz Malik."

Yunan terhenyak. Jeda beberapa detik di telepon, membuat Erika curiga Yunan pingsan.

"Yunan? Kamu masih di sana?" tanya Erika memastikan.

"K-Kenapa dia diantar Malik?? Apa tidak ada kru wanita di sana??" tanya Yunan nyaris berteriak.

"Lah? Mana Ibu tau," jawab Erika santai.

Yunan mengusap kening. Kepalanya tiba-tiba pusing, dan jantungnya menderu. Urusan terkait Raesha, memang seringkali membuatnya curiga dia punya gangguan jantung. Dulu juga, waktu Raesha sempat disangka hilang diculik.

"M-Maaf, Bu. Aku gak bermaksud bentak Ibu. Ya sudah. Tunggu saja aku datang. Mungkin lima belas menit atau dua puluh menit lagi," kata Yunan mengatur napas.

"Okee!" sahut Erika ceria, yang agaknya tidak sadar betapa berita yang dibawanya nyaris membuat Yunan jantungan.

Keduanya saling mengucap salam, sebelum percakapan telepon berakhir. Yunan menggenggam erat cangkang ponselnya. Sebuah nama seperti terus bergaung di kepalanya. Mengusik benaknya.

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang