291 - Kritis

230 73 16
                                    

.

.

Allah adalah satu-satunya yang diperlukan untuk menyembuhkan segala rasa sakit di hati.

.

.

***

Isak tangis Raesha masih terdengar di ruang rawat itu. Hanya ada dirinya dan Yunan yang masih belum sadarkan diri.

Kurva denyut jantung Yunan melonjak, hanya sedetik. Raesha terkesiap. Ia terbelalak. Apa itu barusan? Apa dia berhalusinasi?

Baru saja Raesha meneriakkan panggilan 'Kakak' pada Yunan yang sedang kritis, lalu ...

Alat EKG kembali menampilkan kurva yang stabil. Raesha mendesah kecewa. Disangkanya, keajaiban terjadi. Sungguh, keajaiban menjadi barang langka yang sedang dicari oleh keluarga Danadyaksa saat ini.

Pandangan Raesha kembali terarah ke Yunan. Memori indah mereka sejak Raesha balita hingga remaja, menyesakkan dada, mendesak  air matanya keluar.

"Kakak, kalau sudah besar nanti, aku mau jadi pengantin Kakak!"

"Sekarang kamu bilang begitu. Nanti kalau sudah besar, kamu nikahnya sama yang lain."

Kedua mata Raesha terasa memanas. Seandainya Kak Yunan benar pergi, maka dia akan kehilangan figur kakak sekaligus ayah, ibu, guru dan mantan kekasih. Dalam hidup Raesha, tak ada lagi sosok yang seperti Yunan, yang memiliki banyak peran sekaligus. Tak ada.

Raesha menutup wajahnya dan menangis tersedu.

Ya Allah! Seandainya aku bisa berkorban untuk kesembuhan Kak Yunan, aku rela! Sungguh aku rela!

Raesha tahu, itu adalah pertaruhan yang tidak adil bagi Ilyasa. Ilyasa tentu tak ingin Raesha pergi. Tapi posisi seorang Yunan Lham, adalah setara dengan posisi beberapa orang da'i digabung menjadi satu. Kehilangan seorang Yunan Lham, adalah sangat mahal harganya.

Dada Raesha terasa sesak. Dia merasa bersalah pada suaminya. Tapi rasa ingin berkorban ini demikian besar dan nyata, tak dapat ditolaknya. Seandainya ia bisa bertukar tempat dengan Kak Yunan, seandainya ... maka Ilyasa harus menerima kenyataan itu.

Namun tentu saja itu bukan hal yang pantas dilakukan seorang da'i. Hal terbaik adalah menerima takdir, sepahit apapun itu. Sebab Yang Maha Menentukan takdir, adalah Allah. Dan Allah adalah satu-satunya yang diperlukan untuk menyembuhkan segala rasa sakit di hati.

.

.

Arisa dan Elaine muncul di depan Ilyasa yang masih duduk di kursi yang sama. Termenung dengan tampang sedih. Bagi keluarga besar Danadyaksa, sungguh hari ini terasa kelabu, meski di luar sana, langit berwarna biru cerah.

"Ilyasa," panggil Arisa.

Ilyasa menoleh terkejut, tersadar dari lamunannya.

"Ya, Kak?" sahut Ilyasa.

"Raesha masih di dalam?" tanya Arisa.

"Masih, Kak."

Arisa menangkap nada sedih dalam suara Ilyasa. Paham kalau sebenarnya Ilyasa tidak rela-rela amat istrinya ada di satu ruangan dengan Yunan, sekalipun Yunan dalam kondisi tidak sadar.

Nyaris Elaine akan membuka pintu ruang rawat, namun Arisa mencegahnya.

"Kita duduk di sini dulu, Elaine," ajak Arisa sambil menarik pelan tangan putrinya agar duduk di sampingnya, di seberang kursi Ilyasa.

Elaine kelihatan bingung. "Kenapa begitu, Ummi? Kenapa gak di dalam saja?"

"Kita di sini saja dulu. Sambil menunggu Adli datang membawakanmu makan siang," jawab Arisa. Meski itu sebenarnya adalah jawaban yang agak aneh, karena menunggu Adli bisa dilakukan di dalam ruang rawat.

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang