214 - Yang Pergi & Yang Hepi

304 95 17
                                    

.

.

"Aku lagi hepi banget!! Banget! Kalian kutraktir makan malam ini!"

.

.

***

Ponsel Yunan berdering.

"Sayang! Ayah telepon!" kata Arisa.

Yunan yang sedang duduk di meja makan rumah mertuanya, segera ke kamar. Tak ingin percakapannya di telepon terdengar.

"Assalamu'alaikum," sapa Yunan saat menempelkan ponsel di telinga, sambil memunggungi istrinya.

Arisa melirik suaminya. Aneh sekali kelakuan suaminya semalam. Bukankah katanya baru akan menyusul dirinya besok? Kenapa tiba-tiba datang malam-malam buta?

Raihan masih menangis saat semalam tiba di rumah orang tua Arisa.

"Kata Abi, aku gak bisa ketemu Tante Rae lagi," ucap Raihan sambil sesenggukan.

Yunan diam seribu bahasa. Tidak cerita apa yang terjadi. Tapi tadi pagi diam-diam Arisa bertanya macam-macam pada Raihan, dan putranya itu bicara sesuatu yang membingungkan.

"Tangan Abi bisa tembus keluar pintu, Ummi! Terus ada asap putih keluar dari tangan Abi. Ada suara seram yang menjerit!"

Alis Arisa berkerut hebat. Apa Raihan berimajinasi, atau mimpi?

"Maaf aku kemarin buru-buru, belum sempat pamit sama Ayah dan Ibu," kata Yunan, masih bicara dengan Yoga di telepon.

"Apa yang terjadi? Kamu pamit cuma sama Raesha semalam. Kok buru-buru sekali sampai tidak sempat pamitan sama Ayah dan Ibu?" tanya Yoga.

"Aku sulit menjelaskannya, Yah. Ke depannya, aku tidak bisa ke sana lagi. Maksudku, selama masih ada Raesha di sana. Sebaiknya aku tidak --"

"Coba jelaskan pada Ayah. Atau begini saja. Kita ketemu di kantor Ayah. Gimana?" tawar Yoga yang agaknya mulai curiga ada sesuatu yang Yunan sembunyikan dari istrinya. Mungkin Yunan khawatir pembicaraan rahasia ini, didengar istrinya.

"Aku akan chat Ayah nanti. Sepertinya aku belum bisa ketemu Ayah. Aku masih di rumah Bapak dan Ibunya Arisa. Tapi semalam demamnya Bapak sudah sembuh. Mungkin aku masih di sini beberapa hari, sebelum aku kembali ke tempat suluk."

"Tempat suluk?" tanya Yoga heran.

"Ya. Ustaz Umar bicara padaku. Syeikh menyerahkan tempat suluk padaku, untuk aku kelola bersama Ustaz Zhafran. Tadinya aku berpikir mau kembali mengajar di kampus, tapi setelah aku pikir-pikir, sebaiknya aku ke tempat suluk saja. Pindah ke sana dengan keluargaku," kata Yunan. Dia sudah mempertimbangkannya baik-baik. Jika Yunan kembali mengajar di kampusnya di Jakarta, lebih besar kemungkinan dia dan Raesha bertemu. Jadi dia memutuskan akan langsung ke tempat suluk menerima mandat dari Syeikh Abdullah untuk menjaga tempat suluk peninggalan beliau.

"Begitu? Baiklah. Ayah tunggu chat penjelasan darimu. Nanti kalau ada kesempatan, insyaallah Ayah dan ibumu akan menjengukmu ke tempat suluk."

Itu pembicaraan terakhir Yunan dengan Yoga, sebelum dia akhirnya memulai hidup baru di puncak perbukitan Sumatera Barat.

.

.

Matahari terik di bulan Juni di Kairo, Mesir. Tiga puluh lima derajat celsius. Kemarin malah mencapai tiga puluh tujuh derajat.

Seorang pemuda berjalan menunduk di tepi jalan, dengan mengenakan jaket hoodie yang menutup kepalanya. Rambut gondrong dan poni panjangnya nyaris menutupi mata. Sebungkus makanan, dibawanya dengan tangan kanan.

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang