390 - Benar

200 59 6
                                    

.

.

Hal-hal baik tergerus seiring mendekati akhir.

Tidak perlu mencela zaman.

Cukup katakan, "shadaqa Rasulullah." (benar apa yang dikatakan Rasulullah)

.

.

***

Yunan berjalan menanjak menuju gerbang masjid. Ponsel di tangannya serasa memanas, digenggam erat oleh jemarinya. Digenggam dengan penuh emosi. Dadanya serasa mendidih. Dia tidak ingat kapan terakhir kali merasakan bola api amarah semacam ini dalam hatinya. Ini kondisi yang langka terjadi, karena sepanjang hidupnya, emosi Yunan biasanya tertata rapi. Hanya satu orang di dunia ini, yang mampu membuat Yunan Lham jadi seperti ini. Hanya satu.

Raesha Akhtar.

Giginya beradu, menahan rasa ingin menjerit saking kesalnya. Urat di dahinya nampak.

Angin berembus jelang Ashar, membawa beberapa helai rontokan daun, menerpa langkah kaki. Hari ini cuaca agak berangin di puncak bukit.

Dua orang penduduk setempat yang berpapasan dengan Yunan, nyaris hendak menyapa, tapi batal lantaran menangkap mood buruk yang tergambar di wajah Yunan.

Yunan memasuki gerbang masjid yang terbuka lebar. Dia tadi sengaja melanjutkan sambungan video call dari Ishaq, di luar tempat suluk. Malu rasanya meluapkan emosi di tempat suluk. Tidak di sana. Tidak di tempat mulia itu. Tempat yang dijaga kesuciannya selama puluhan tahun oleh Syeikh Abdullah.

Setelah Raesha dengan jelas-jelas membela laki-laki itu -- Malik -- mantan pacar Arisa -- Yunan serasa akan meledak karena amarah. Maka ia putuskan diam, menutup percakapan dengan sindiran sinis, sebelum memutus sambungan video call secara sepihak. Yunan sempat duduk lama di bawah pohon rindang. Belum ingin kembali ke tempat suluk selama amarahnya belum reda.

Sesuatu luka dalam dirinya, tapi bukan raganya. Kenapa Raesha tidak bisa melihat bahwa kekhawatirannya berdasar? Bahwa yang dia katakan adalah benar? Bahwa dia tidak sedang mengada-ngada. Bahwa Malik bisa saja punya intensi kurang baik terhadap Raesha. Apa salahnya waspada dan menjaga diri?

Zhafran beradu tatap dengan Yunan, saat Yunan menghampirinya dan Mahzar di ruang duduk. Zhafran segera menundukkan pandangan, tak berani menatap mata Yunan terlalu lama. Tadi sebelum Yunan pergi keluar dari tempat suluk, Yunan sempat terlihat menerima video call sambil marah meski beberapa detik.

"Ashar masih lama?" tanya Yunan.

Zhafran melihat waktu di aplikasi azan pada ponselnya. "Sepuluh menit lagi, Syeikh," jawab Zhafran.

Yunan diam. Rasanya ingin pulang ke rumah. Tapi kalau Arisa melihatnya seperti ini, Arisa akan tahu ada yang tidak beres, dan Yunan jadi merasa tidak enak jika tidak menjawab. Sudahlah. Yunan akan menunggu Ashar di sini saja. Berharap selepas Ashar berjama'ah, otot-otot wajahnya sudah lebih rileks dan mukanya tidak terlalu tegang.

Hening yang terasa mencekam. Mahzar merasa canggung dan memutuskan menyalakan televisi. Berharap ada pengalihan fokus yang bisa mengubah mood Yunan menjadi membaik.

Mahzar sungguh tak punya ide, apa kiranya tadi yang membuat Yunan marah-marah saat menerima telepon. Sementara Zhafran langsung paham, karena Yunan tadi menyebut nama 'Rae' beberapa kali. Memangnya, siapa lagi yang bisa membuat Yunan emosional sampai seperti itu?

Layar televisi menampilkan acara infotaintment alias gosip alias ghibah.

"Ganti acara lain, Mahzar," kata Yunan.

ANXI EXTENDEDWhere stories live. Discover now