312 - Do'a

254 86 18
                                    

.

.

Semoga waktunya cukup, hingga esok menjelang Subuh.

.

.

***

Yoga memejam di kedalaman air. Bias cahaya menyinari dari atas permukaan air. Bentuk buih pecahan air, mencipta bayangan di kulit wajahnya. Sinar dari atas sana, makin lama makin terang. Membuat pakaian serba putih yang melekat di tubuh Yoga, menjadi bersinar. Rambut panjang Yoga sesekali menutupi pipi, dibelai gelombang air. Kulit wajah Yoga yang halus tanpa tanda penuaan, dan rambutnya yang hitam seluruhnya, menandakan bahwa ia telah kembali pada usia mudanya, saat dirinya masih berusia tigapuluh-an.

Riak air memercik, saat tubuh Yoga muncul ke permukaan. Perlahan matanya terbuka. Ia terperanjat melihat ada di mana dirinya. Sebuah telaga yang luas, dengan kilau air berkerlipan layaknya jutaan berlian. Berlangitkan kubah-kubah dengan tiang-tiang yang tinggi menjulang. Cerah bahkan tanpa adanya matahari. Di tepian telaga, tenda-tenda berdiri. Orang-orang berbaring di dalam tenda, dan ada juga yang duduk-duduk bertelakan di atas dipan-dipan. Semua orang tersenyum, tertawa gembira.

Aku ada di mana? Yoga bertanya-tanya. Semua orang seolah mengabaikan Yoga yang baru muncul dari dalam telaga, dan sekarang sedang berjalan ke tepian, dengan pakaian basah kuyup. Air berkilauan bagai butiran berlian, menetes dari ujung dagu dan ujung rambut Yoga. Semuanya sibuk dengan kegembiraan mereka, kecuali satu pria yang berdiri di tepi telaga, seolah memang sedang menunggunya.

Kaki Yoga menapaki tanah yang beraroma wangi misik, tanah yang bercampur dengan butiran debu berkilau cantik. Seketika pakaiannya yang tadinya basah, kini mengering. Begitu juga dengan tubuh dan rambutnya. Ia belum pernah merasa tubuhnya seperti ini. Sangat sehat dan kuat. Jelas sangat berbeda dibanding yang dirasakannya di ruang ICU.

"Marhaba, Yoga. Selamat datang."

Alis tebal Yoga berkerut. "Maaf. Anda siapa?" tanya Yoga pada pria berambut pendek yang menatapnya ramah. Tubuhnya lebih pendek dari Yoga. Jelas orang Indonesia, dilihat dari wajahnya.

"Kamu tidak mengenaliku? Coba perhatikan baik-baik," ucap pria itu yang seumuran dengan Yoga saat ini. Usianya mungkin tiga puluh tiga.

Yoga memerhatikan pria itu yang mengenakan gamis putih, mengamatinya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Setelah mengamati raut wajahnya, sepertinya pria ini ada darah Sumatera, tebak Yoga.

"Kamu selalu bilang kangen padaku. Masa' iya, kamu tidak mengenaliku?" kata pria itu dengan lirikan menggoda.

Bibir Yoga terbuka otomatis saat menyadari siapa pria di hadapannya. Sorot mata penuh kehangatan dari pria itu, adalah yang membuat Yoga ingat. Yoga memeluk pria itu sangat erat.

"Syeikh! Syeikh Abdullah!!" tangis Yoga berderai, butiran berkilau dari matanya, jatuh ke tanah dan langsung mengering seketika.

Syeikh Abdullah tertawa dan balas memeluk Yoga. Lama sekali keduanya berpelukan.

"A-Aku jarang memimpikanmu, Syeikh. Aku kangen sekali. Kangen sekali!" air mata Yoga yang tadinya nyaris mengering dengan sendirinya, kembali keluar di pelupuk mata.

"Aku juga rindu padamu," kata Syeikh Abdullah dengan ekspresi bahagia di binar matanya.

"Ada yang ingin bertemu denganmu, Yoga," ucap Syeikh Abdullah saat keduanya berjarak.

"Siapa?" tanya Yoga.

Syeikh Abdullah menunjuk ke sebuah kemah. Seorang pria keluar dari sana. Berlari sekencang-kencangnya ke arah Yoga. Sama seperti Yoga, dia mengenakan kemeja dan celana panjang putih, yang kini kainnya bergerak tertiup angin. Begitu juga dengan rambutnya yang agak gondrong, sedikit di bawah leher. Poni lurusnya terkadang bergoyang menutupi matanya.

ANXI EXTENDEDWhere stories live. Discover now