289 - Musibah

252 79 15
                                    

.

.

"Kelak aku yang akan jadi saksi!

Aku bersaksi, kamu adalah salah satu manusia terbaik yang pernah kutemui dalam hidupku!"

.

.

***

Zhafran terbangun dalam keadaan ketakutan. Matanya membola. Bias cahaya hijau, terpantul dari manik matanya.

"Sayang, istighfar! Istighfar!" Maryam mengatakannya berulang-ulang, sambil menggenggam erat tangan suaminya. Maryam baru saja selesai memasak untuk makan siang, saat mendengar jeritan suaminya dari kamar.

Ini jarang terjadi, tapi jika Zhafran terbangun dengan cahaya itu di matanya, itu artinya dia baru saja memimpikan sesuatu yang bersifat terawang ke masa depan, atau masa sekarang, namun di tempat yang jauh.

Zhafran mengucap istighfar. Genggaman tangannya dieratkan. Maryam kini berkeringat dingin. Tangan suaminya bagai sedang memegang benda berat.

Perlahan cahaya dari mata Zhafran meredup. Pria itu mengatur napas. Maryam mengelap keringat di dahi suaminya dengan tisu.

"Ada apa?" tanya Maryam berbisik. Karena seringkali, berita yang sampai ke suaminya, bersifat rahasia.

Zhafran menoleh ke istrinya. "Aku harus ke Jakarta siang ini."

"Apa ada hal buruk terjadi pada Syeikh Yunan dan Ustadzah Arisa?" tanya Maryam hati-hati.

"Aku akan mengabarimu nanti, kalau sudah tiba di sana," ucap Zhafran menyibak selimut dan berjalan cepat keluar kamarnya. Menyusuri koridor dan mengetuk pintu rumah Yunan.

"Raihan! Raihan!" seru Zhafran panik.

Raihan yang baru selesai salat Dhuha, buru-buru melipat sajadahnya dan berlari ke arah pintu.

Pintu terbuka. "Ya, Om Zhafran?" sahut Raihan yang masih mengenakan peci hitam dan sarung hijaunya.

"Bersiaplah. Kita akan berangkat ke Jakarta. Bawa beberapa potong baju, untuk berjaga-jaga. Sepertinya kita akan menginap di sana, entah berapa lama," cerocos Zhafran, tanpa memberi kesempatan Raihan untuk bicara.

Raihan mengernyit. Ada apa ini? batinnya. Kenapa tiba-tiba ada rencana ke Jakarta? Bukankah setelah Abi dan Ummi pulang, mereka akan melangsungkan acara pertunangan dirinya dengan Rayya? 

"Sekarang?" tanya Raihan memastikan.

"Ya. Ya. Sekarang!" seru Zhafran. Raihan mengangguk bingung, melihat Zhafran berkeringat di sekujur tubuhnya.

"Kheir, Om. Saya siap-siap dulu," ucap Raihan yang segera memasukkan beberapa potong pakaian ke dalam tas besar. Tidak jelas ada apa. Yang jelas, dia harus patuh pada calon mertuanya, kalau masih mau menikahi Rayya.

Rayya dan Maryam mengintip dari kejauhan.

"Ada apa, Bu?" tanya Rayya keheranan.

Maryam hanya merespon dengan gelengan kepala dan mengendikkan bahu.

Beberapa saat kemudian, Mahzar sudah siap di depan masjid.

"Afwan memintamu datang buru-buru," ucap Zhafran yang muncul dari arah masjid, sudah nampak rapi dengan baju koko dan celana panjang putih. Rambutnya basah setelah mandi. Dia sudah mandi pagi sebenarnya. Tapi setelah salat Dhuha, ia ketiduran dan bermimpi buruk tentang Yunan. Tubuhnya mandi keringat, hingga ia terpaksa mandi lagi.

"Gak apa-apa, Ustaz. Ada apa? Saya dengar, Syeikh dan Ummi ada di Jakarta? Kenapa saya tidak diminta mengantar?" tanya Mahzar dengan tampang bingung.

"Nanti saya jelaskan. Nanti," ucap Zhafran mengibas tangannya.

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang