321 - Dua Duka

273 88 40
                                    

.

.

"Kalau saya beritahu, bahwa Ayahmu telah disiapkan tempat yang sangat indah di sana, apa kesedihanmu akan berkurang?"

.

.

***

Zhafran berdiri di entry lobi kediaman Danadyaksa. Mobil sport biru muda, menepi di dekatnya. Prama yang juga sama-sama menunggu kedatangan Adli, membukakan pintu mobil.

"Saya turut berduka cita yang sedalam-dalamnya, Tuan!" ucap Prama, pria berusia kepala empat itu, sambil membungkuk hormat. Pria itu meneteskan air mata di balik kaca mata beningnya.

"Terima kasih, Prama," sahut Adli mengangguk. Adli sudah bukan Tuan Muda sekarang.

"Ambulans sudah datang, Ustaz?" tanya Adli pada Zhafran.

"Belum. Para pelayan sedang menyiapkan tempat pemandian jenazah, di taman. Saya yang akan memandikan jasad Pak Yoga dan Ustaz Ilyasa," jawab Zhafran.

"Terima kasih, Ustaz. Siapa yang akan jadi imam salat jenazah? Ustaz Zhafran juga? Karena Kak Yunan masih sakit," tanya Adli.

"Bukan. Imam salat jenazah bukan saya." Zhafran nampak yakin saat mengatakannya.

"Begitu? Lalu, siapa, ya?" ucap Adli heran. Keluarga Danadyaksa bukan keluarga ulama. Kak Ilyasa dan Kak Yunan yang berstatus ulama, sebenarnya tidak memiliki darah Danadyaksa. Kak Raesha seorang Ustadzah, tapi tidak mungkin perempuan menjadi imam salat jenazah.

"Nanti orangnya akan datang," kata Zhafran tersenyum.

"Baiklah, Ustaz," Adli mengembuskan napas. "Kalian masuklah duluan. Haya, temui Ibu dan Kak Raesha. Hibur mereka," kata Adli pada Haya, Elaine, Ismail dan Ishaq. Mereka manut dan menaiki tangga lobi.

"Saya perlu menyiapkan kain kafan. Saya dengar, Pak Yoga sudah menyiapkan kain kafannya sendiri."

Adli terkesiap mendengarnya. "Oh ya. Ada di ruang kerja Ayah saya. Mari, Ustaz," Adli mengarahkan Zhafran memasuki lobi. Para pelayan berseliweran, mengangkat semua furnitur di ruang tamu dan ruang duduk. Mahzar terlihat ikut membantu. Bersiap mengubah kedua ruangan itu untuk tempat pembaringan kedua jenazah, dan untuk tempat salat. Hampir semua pelayan, nampak merah dan bengap matanya. Yoga dikenal sebagai tuan yang bersahaja, tidak pernah merendahkan status seseorang meskipun pelayan.

Mereka lalu berjalan di koridor, sebelum Adli membuka sebuah pintu. Keduanya memasuki ruang kerja Yoga. Bahkan wangi parfum Yoga masih tertinggal di ruangan itu. Membuat Adli harus berusaha menahan air matanya.

Adli menghampiri meja kerja Yoga dan membuka laci paling bawah. Di sana sungguh ada kain kafan dan bahkan ada perlengkapan untuk memandikan jenazah segala. Tentu saja. Yoga tidak akan berbohong. Adli memeluk kain kafan itu dan pandangannya mengabur. Ia tak tahan dan menangis terisak.

Tepukan lembut di bahunya, membuat Adli berhenti menangis.

"Kalau saya beritahu, bahwa Ayahmu telah disiapkan tempat yang sangat indah di sana, apa kesedihanmu akan berkurang?"

Adli terdiam melihat senyum hangat Zhafran. Entah mengapa, ia jadi merasa punya energi tambahan untuk melewati hari yang teramat berat ini.

"Tolong terima ini, Ustaz," pinta Adli sambil menyerahkan sebuah amplop putih.

Zhafran tidak langsung menerimanya. "Maaf, apa ini?"

"Ayah saya sudah menyiapkan ini, untuk orang yang akan memandikan jenazahnya."

"Saya tidak mengambil bayaran untuk memandikan jenazah," ucap Zhafran menggeleng.

"Tolong terima, Ustaz. Ini wasiat dari Ayah saya," Adli memohon sekali lagi, kali ini sambil membungkukkan tubuhnya.

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang