343 - Auto-Ambyar

250 74 9
                                    

.

.

Kalau urusannya berkaitan dengan Ustadzah Raesha, pikirannya jadi auto-ambyar.

.

.

***

Pemakaman Dana telah usai.

Meski jumlah pelayat tak seramai saat pemakaman Yoga dan Ilyasa yang saat itu mencapai lima ribu orang, lebih banyak dari perkiraan dua ribu pelayat, namun cukup banyak yang melayat jenazah Dana. Sebab karyawan kantor Danadyaksa Corp. nyaris semuanya datang. Belum lagi rekan-rekan Dana dulu saat ia masih aktif bekerja. Tetangga sekitar dan saudara. Claire bahkan hadir, memberi penghormatan terakhir. Jika Dana dulu pernah salah memperlakukannya sebagai suami, Claire sudah memaafkan Dana. Claire paham, Dana tentunya merasakan kesedihan yang teramat sangat, sepeninggal Yoga. Yoga adalah pusat hidup Dana. Kini Dana telah menyusul Yoga.

Sorenya, Adli duduk di tepi ranjang tidur almarhum Eyangnya. Kamar ini sering ditempatinya, dulu waktu ia masih kecil. Sampai kelas enam SD, Adli masih sering tidur bareng Eyang Dana.

"Adli, bobok sama Eyang, yuk. Kalo bobok sendiri, ntar diculik wewe gombel, lho," kata Dana ngasal.

"Ayah! Jangan takut-takuti Adli kayak gitu!" protes Yoga, mendengar ajakan Dana yang ajaib. Kalau mau ngajak cucu tidur bareng, ajak aja. Kenapa pakai ngancam diculik wewe gombel segala?

"Wewe gombel itu apa?" tanya Adli kecil dengan tampang polos.

Kepala Adli tertunduk. Langit seolah gamang. Tidak mendung, namun juga tidak cerah. Bentuk awan tidak nampak jelas, seolah menyatu dengan langit putih pucat. Sinarnya menerangi wajah murung Adli.

Danadyaksa bukanlah sosok eyang yang alim, tapi keberadaan Dana, selalu menciptakan suasana keceriaan.

"Adli, jangan gangguin ayah ibumu. Mereka perlu waktu berduaan."

"Aku cuma bobok di kamar ibu sama ayah pas malem, Eyang. Ibu sama ayah 'kan punya waktu banyak pas siang."

"Ah dasar bocah. Kamu gak ngerti, sih. Pas malem itu justru lebih seru."

"Lebih seru gimana, Eyang?"

"Ntar kalo udah gede, kamu paham sendiri. Makanya buruan gede, biar paham."

Adli mengambil bantal Dana dan menghirup aroma bantal itu. Air matanya mengalir. Ia menutup mukanya dengan bantal milik Dana. Aroma eyang kesayangannya itu, masih tertinggal di sana.

Eyang! Eyang belum sempat melihat pelantikanku! Setidaknya, hadir dulu di pelantikanku, Eyang!

Pelantikan Adli terpaksa diundur tiga hari, sebagai tanda berkabung atas wafatnya Dana sebagai pendiri Danadyaksa Corp.

Adli memeluk bantal Dana, menangis terisak. Beberapa menit dalam posisi itu, sebelum ia keluar dari kamar Dana. Saat membuka pintu, Adli terkejut menemukan Elaine ada di luar kamar. Mengenakan gamis bunga-bunga kecil dan jilbab krem muda.

"Aku ikut sedih, Om," kata Elaine dengan suara lembut.

Adli berdiri mematung. Ingin rasanya ia memeluk Elaine detik ini juga. Kenapa di saat seperti ini, dia tidak punya pasangan resmi untuk bisa dia peluk erat? Adli merasa seperti ditinggal orang-orang berpengaruh besar dalam hidupnya. Yoga, lalu sekarang Dana. Tak bisa lagi dirinya bertanya tentang permasalahan bisnis pada keduanya. Untungnya Yoga sempat menitipkan dirinya pada para direksi perusahaan, khususnya pada Han dan Pak Andi.

"Makasih," sahut Adli dengan air mata lolos ke pipinya. 

"Om, Abiku dan Om Mahzar datang," ucap Elaine.

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang