235 - Birmingham

482 90 17
                                    

.

.

"My name is Olivia. I want to ask you about LGBT."

.

.

***

Dalam hening malam dan hawa dingin puncak bukit Sumatera Barat, Yunan tenggelam dalam zikir. Jarinya menggulirkan biji tasbih yang sangat panjang, tasbih milik Syeikh Abdullah.

Hingga kembali ke pangkal tasbih, kepala Yunan tertunduk tafakur. Yang muncul di mata batinnya, adalah kehidupan seseorang yang tak pernah dikenalnya. Pria itu juga tak pernah mengenal Yunan sebelumnya. Atau mungkin pernah melihat Yunan satu atau dua kali melalui televisi. Pria itu adalah seorang beriman yang mengakui Laa ilaha illallah Muhammadarrasulullah.

Di ujung dunia sana, pria itu sedang berjalan sendirian di rel kereta api. Air mata menciptakan dua kanal di wajahnya. Tetesan airnya membasahi kerikil di antara dua rel. Dia telah kehilangan seluruh keluarganya. Istrinya diperkosa sebelum dibunuh. Anak-anaknya mati saat pemukiman mereka dibakar. Dia sedang pergi saat kejadian itu terjadi.

Kenapa? Kenapa, ya Allah? Bukankah aku telah menitipkan mereka pada-Mu? Kenapa Engkau membiarkan itu terjadi?

Air mata Yunan menetes, mendengar lintasan pikiran keputusasaan pria itu. Tidak! Jangan berpikir begitu! Tiap ketentuan Allah memiliki hikmah di dalamnya! Jangan putus asa! Hanya kafir yang berputus asa!

Wajah pria itu disinari cahaya lampu kereta api dari kejauhan. Suara peluit kereta berbunyi. Menyadari ada seseorang berjalan di rel, kereta itu berusaha berhenti, namun terlambat.

Pria itu menutup mata. Hanya ingin mengakhiri semuanya. Tak perduli lagi dengan kehidupan setelahnya, yang dia yakini ada.

Jangaaan!! Pergi dari sana! Jangan bunuh diri!!

Benda keras menghantam tubuh pria itu dan melindasnya.

Mata Yunan membelalak. Tangisnya pecah. Dia menutup mulutnya, berharap tidak mengganggu tidur istrinya. Namun Arisa terbangun karenanya.

"Kenapa, sayang?" tanya Arisa turun dari kasur menghampiri suaminya.

Arisa memeluk tubuh Yunan yang gemetar. Yunan tidak menjawab, seperti biasa.

"Kubuatin teh hangat, ya," ucap Arisa mengelus kepala suaminya yang memakai peci.

Yunan mengangguk, masih sulit menghentikan tangisnya. Dia menyaksikan pria itu saat terlindas kereta api. Mengerikan sekali!

Tak lama, Arisa datang membawakan secangkir teh hangat. Yunan menyesap teh dengan tangan masih gemetar. Ia mengatur napas, dan perlahan tubuhnya lebih tenang. Belakangan itu terjadi makin sering. Yunan bisa merasakan persis, apa yang dirasakan oleh beberapa orang muslim di luar sana, atau orang beriman yang belum secara jelas memasuki Islam. Seolah Yunan berada di hadapan mereka.

"Minggu depan, aku mau ke Birmingham, Inggris," kata Yunan tiba-tiba.

"Birmingham?" gumam istrinya.

"Ya. Di sana, Islam sedang berkembang. Tapi masih banyak orang yang ingin mengenal Islam lebih dekat. Mereka dalam keraguan. Sekelompok orang mengundangku ke sana," jelas Yunan.

"Dampingi aku," kata Yunan lagi.

Arisa merasa trenyuh mendengarnya. Ini pertama kalinya Yunan memintanya dengan kalimat 'dampingi aku'. Selama ini, paling Yunan akan berkata, "mau ikut?" atau semacamnya.

"Tapi, Elaine gimana?" tanya Arisa. Bayi mungil itu masih dalam masa menyusui.

"Kita bawa anak-anak."

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang