255 - Teh & Kopi

256 78 11
                                    

.

.

Do'a jikalau tulus, dapat menembus langit.

.

.

***

Erika termenung di kamarnya. Duduk bersandar di bantal. Yoga muncul dari dalam kamar mandi.

"Kenapa kamu?" tanya Yoga yang heran melihat tingkah istrinya.

Erika baru merespon dengan tatapan, saat Yoga menaiki ranjang dan duduk di samping istrinya.

"Aku cuma kepikiran Yunan. Sejak Yunan kecil, aku selalu mendukungnya untuk jadi pendakwah. Tapi aku gak pernah ngebayangin kondisi ini akan terjadi sekarang. Yunan diteror orang misterius, sampai nyaris mati ditembak saat sedang dakwah ke India. Aku jadi mikir ... gimana kalau aku ngomong sama Yunan nanti kalau dia sudah pulang? Aku akan minta Yunan untuk gak usah dakwah ke luar negeri lagi. Biar dia di Indonesia aja. Maksudku, aku khawatir, bayangin kalau sampai Yunan kenapa-kenapa, pas dia lagi jauh sama kita. Aku -- "

Kalimat Erika tidak tuntas, sebab wanita itu kini menangis dan menutup wajahnya. Yoga memeluknya.

"Ngomong apa kamu, sayang? Kalaupun kamu melarang Yunan untuk dakwah ke luar negeri, memangnya kamu pikir Yunan bakal mau nurut? Kamu pikir, apa niat Yunan menyebarkan syi'ar Islam sampai jauh-jauh keluar negeri segala? Walaupun segala biaya bukan ditanggung olehnya, Yunan tetap mengorbankan tenaga dan waktunya yang berharga. Tapi dia rela melakukan semua itu karena Allah dan Rasulullah. Bisa-bisanya kamu berpikir untuk menghambat dakwahnya? Pikirmu, Yunan takut mati??"

Erika memberi jarak. Perkataan Yoga membuat wanita itu mengusap air matanya seraya mengangguk. Paham. Dia paham kalau Yunan tidak takut mati. Dia juga paham yang dimaksud suaminya, tapi ... tetap saja, berat sekali rasanya sebagai seorang ibu. Sekalipun Yunan bukan terlahir dari rahimnya, namun Yunan telah dianggapnya sebagai anak kandung sendiri. Membayangkan anak kita mati mengenaskan di tangan orang-orang yang membenci Islam, sangat mengerikan.

"Jika hal itu terjadi. Yunan mati saat berdakwah -- nas alukal afiat -- maka itu artinya Yunan mati syahid. Bukankah itu adalah kematian yang mulia? Walaupun --," Yoga terhenti bicaranya. Air mata membuatnya tak sanggup melanjutkan perkataannya.

"Walaupun kita mencintai anak-anak kita dengan sepenuh hati dan jiwa raga, mereka adalah kepunyaan Allah. Hidup mati mereka, di tangan Allah sepenuhnya. Kita hanya diberi amanat untuk merawat mereka sesuai dengan kemampuan kita. Apa daya kita, kalau sekecil apapun kebaikan yang kita berikan untuk mereka, semuanya berasal dari pemberian Allah? Kita semua adalah hamba-Nya. Jangan pernah lupa itu! Jadi jangan pernah terlintas lagi dalam pikiranmu, untuk melarang-larang Yunan berdakwah hingga ke ujung dunia sekalipun. Biarkan dia mengambil bagiannya. Bagian yang mungkin tak dapat digantikan oleh orang selain dia," lanjut Yoga dengan suara parau.

Air mata Erika meleleh lagi. Ia memeluk erat suaminya dan keduanya menangis bersama. Di usia mereka yang tidak muda lagi, mereka akhirnya memasuki fase ini. Fase dimana mereka menyadari bahwa anak-anak mereka bukanlah milik mereka. Fase dimana mereka menyadari bahwa anak-anak mereka telah membangun keluarganya masing-masing, dan karenanya berhak menentukan arah hidup mereka. Yang bisa mereka berikan, hanyalah do'a agar Allah menjaga keimanan anak-anak mereka, dan agar segala keputusan mereka, mendapat rida dari Allah subhana wa ta'ala.

.

.

Jam dinding menunjukkan lewat dari pukul sepuluh malam. Adli merasa haus. Ia keluar dari kamarnya dan melihat seorang pelayan laki-laki tengah bicara dengan seseorang di telepon.

"Anda ingin bicara dengan Nona Elaine? Maaf, dengan siapa saya bicara?"

Nama Elaine yang disebut-sebut, membuat langkah Adli terhenti.

ANXI EXTENDEDWhere stories live. Discover now