298 - Obat

268 78 6
                                    

.

.

"Nyonya, keajaiban itu sudah terjadi, sebenarnya."

.

.

***

Butiran air berkilauan, jatuh dari langit. Yunan terkejut melihatnya.

"A-Apa itu, Syeikh? Hujan?" tanya Yunan.

Syeikh Abdullah menggeleng. "Bukan. Itu adalah air mata yang menetes untukmu."

Air mata? batin Yunan heran.

"Lihatlah ke bawah sana," kata Syeikh Abdullah menunjuk ke ujung awan yang mereka duduki.

Yunan berdiri dan berjalan ke tepi awan. Ia terkejut menemukan kolam besar di sana. Air mata terus berjatuhan dari langit. Yunan mengulurkan tangannya. Beberapa butir air, tertampung di telapak tangannya, berkilau bagai berlian, sebelum pecah dan terbang menuju kolam. Kini tak ada yang tersisa di tangan Yunan.

Kolam itu menyerupai danau. Yunan mendengar suara-suara dari dalam kolam. Suara do'a dengan berbagai bahasa. Perancis, Jerman, Jepang, Italia, Spanyol, Yunani. Wajah-wajah nampak muncul dan menghilang di permukaan danau itu. Beberapa dari mereka, Yunan mengenalinya sebagai mualaf yang pernah dia bimbing bersyahadat. Lalu sebagian dari mereka, adalah jama'ahnya di Sumatera Barat dan Medan, lalu murid-murid pesantren milik Ustaz Umar. Ustaz Umar juga ada, lalu guru-guru yang pernah mengajar Yunan bahkan sejak dirinya dulu masih di pesantren, ada Zhafran dan Mahzar. Banyak. Banyak sekali.

Kini air mata Yunan jatuh dan bergabung ke dalam danau itu. Dia lalu melihat wajah istrinya ada di sana. Wajah Yoga, Erika, Elaine, Raihan, bahkan Ilyasa ada di sana. Lalu ada wajah Raesha juga. Suara tangis Raesha terdengar menyayat hatinya.

"Jangan menangis, Rae. Jangan menangis!" Yunan menutup mukanya yang basah. Sejak dulu, bukankah itu yang dia lakukan? Membuat Raesha menangis. Kapan terakhir kali dia membuat Raesha bahagia?

"Jika untuk menyembuhkan Kakak, harus ada yang dikorbankan, maka aku rela menggantikan tempatnya, ya Allah! Aku rela!"

Bayangan Raesha sedang menangis dengan mengenakan mukenanya, mukena donker pemberian Yunan dulu dari Hadramaut, nampak jelas di permukaan air danau.

Yunan menggeleng, dengan air mata beranak sungai di pipinya. "Tidak! Ya Allah! Jangan kabulkan do'anya! Aku tidak mau dia menggantikan tempatku!"

"Aku cinta padanya, ya Allah!"

Yunan mendongak ke langit, tak percaya dengan yang didengarnya.

"Tapi cinta-Mu padanya pasti lebih besar. Janganlah Engkau siksa kami dengan masa kritisnya yang terlalu lama. Kasihanilah keluarganya, ya Allah! Engkau Maha Pemilik segala keajaiban. Turunkanlah keajaiban-Mu!"

"Rae ... ," Yunan jatuh berlutut. Mungkinkah ia bisa keluar dari tempat ini? Tidak tega rasanya melihat mereka semua menangis sampai terbentuk danau sebesar itu.

.

.

Raesha duduk melamun di kantin madrasah. Semenjak Yunan kritis kondisinya, jadwal hidupnya bagai jumpalitan. Dia harus mengganti jadwal mengajar Ilyasa. Sebagai dampaknya, nyaris seharian dia mengajar dari kelas ke kelas. Boro-boro masak. Sekarang dia sama seperti Ismail dan Ishaq. Jajan di kantin. Hanya saja, anak-anaknya jajan di kantin siswa, dan dirinya di kantin untuk para pengajar.

"Ustadzah, gimana kabar Kakaknya?" tanya seorang Ustadzah yang melintas di samping meja Raesha.

"O-Oh. Masih kritis, Ustadzah," jawab Raesha.

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang