256 - Pasca Delhi

304 72 5
                                    

.

.

"Aku berasal dari Allah, dan orang-orang mukmin berasal dari aku."

~ Nabi Muhammad ﷺ


.

.

***

Dua minggu kemudian ...

Mahzar membukakan pintu mobil. Yunan turun dari mobil taft, melepas kacamata hitam dan menyematkan gagang kacamata di kerah kaus. Jaket biru donker melapisi kaus putihnya. Matanya sedikit bengkak dan nampak lelah. Nyaris tiap hari selama dua minggu ini, dia disibukkan dengan segala macam tetek bengek penyelidikan kepolisian New Delhi yang ujung-ujungnya belum juga menemui titik terang. Akhirnya setelah mendesak kepala kepolisian dan dibantu juga oleh kedutaan Indonesia di India, Yunan dan Mahzar diizinkan pulang ke tanah air.

"Alhamdulillah. Home sweet home," gumam Yunan sambil mendesah lelah. Baru dua minggu padahal, tapi bagai sudah setahun meninggalkan tempat suluk.

"Syeikh!" seru Zhafran yang seperti biasa nampak rapi dengan baju koko dan celana panjangnya. Zhafran berlari ke arah Yunan dan merangkul Yunan, membuat Yunan refleks tertawa sambil mengusap punggung rekannya itu.

"Ya Allah, Syeikh. Alhamdulillah Syeikh pulang dalam keadaan selamat," ucap Zhafran dengan mata berkaca-kaca.

Yunan menatap Zhafran lembut. "Alhamdulillah. Saya masih diberi umur untuk melanjutkan dakwah kita."

"Istirahat dulu, Syeikh. Kita bicara nanti," kata Zhafran seraya mengarahkan Yunan untuk memasuki masjid.

Mereka melintasi masjid, tembus ke jembatan yang mengarah ke tempat suluk.

"Sayang!" Arisa muncul dari dalam kamarnya. Wanita itu berlari menyambut kedatangan suaminya. Keduanya berpelukan erat. Zhafran dan Mahzar yang sedang menyeret koper milik Yunan, melipir menjauh.

Yunan mengecup kening istrinya yang dilapisi cadar. Suara isak tangis terdengar pelan.

"Yuk ke rumah," ajak Yunan. Mereka tak mungkin mesra-mesraan terus di sana.

Saat keduanya berada di dalam rumah, barulah cadar Arisa dilepas. Suami istri itu melepas rindu dan kecemasan yang selama dua minggu ini mengusik kehidupan mereka.

"Aku takut banget," kata Arisa masih memeluk erat suaminya.

"Gak apa-apa, sayang. Kalau belum waktunya, aku gak akan kenapa-kenapa," ucap Yunan sambil membelai rambut istrinya.

Arisa mengeratkan rangkulannya. Takut. Dia takut sekali. Tiap hari Arisa cemas, kalau-kalau Yunan akan diracuni oleh orang jahat di sana. Dia melepas Yunan dua minggu yang lalu ke India, tanpa ada firasat apapun. Rasa-rasanya, hatinya belum siap untuk melepas suaminya, jika sewaktu-waktu terjadi hal buruk pada Yunan.

.

.

Selepas Isya, Yunan akhirnya bisa duduk santai bersama Zhafran dan Mahzar, di meja taman. Langit cerah menampakkan taburan bintang. Malam cerah di tempat suluk, selalu menyenangkan. Orang-orang akan memilih berbincang di teras, makan camilan dan minum kopi hangat, sambil menatap langit.

Yunan bersandar di sandaran kursi, sambil menghela napas. Tangannya memijat pundak. Penerbangan berdurasi panjang, plus kerepotan kesana kemari saat di New Delhi, tak urung membuat otot-otot tubuhnya kelelahan.

"Pegal, Syeikh? Mau saya pijitin?" tanya Zhafran cengengesan.

Yunan tersenyum dengan sorot mata datar. "Pijit memijit itu bagian istriku, bukan kamu." Zhafran tertawa.

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang