342 - Musibah Beruntun

219 70 17
                                    

.

.

"Saya turut berduka. Waktu kematian, pukul empat lewat tiga puluh menit."

.

.

***

Pelantikan insyaallah Senin, Kak. Sebentar. Akan aku kirimkan undangan VVIP-nya.

Kak Arisa dan Raihan masih di rumah Kakak? Ajak mereka datang ke pelantikanku juga, Kak. Nanti aku titip undangannya lewat Kakak.

Maaf. Aku ingin sekali ada di rumah Kakak, tapi kerjaanku di kantor menggila. Sudah lembur tiap malam, tapi tumpukan dokumen yang harus kupelajari, menumpuk terus. Karena terus tersela dengan rapat.

Kakak gimana kabarnya? Sehat, Kak? Jangan malas makan, Kak. Nanti kayak Eyang, terpaksa pakai infus. Eyang kondisinya belum membaik. Malah, perasaanku, Eyang makin kurus dari hari ke hari. Sekarang Eyang benar-benar tidak mau dipaksa makan. Aku stress ngeliatnya. Bingung harus gimana.

Seandainya bisa menduplikasi diriku sendiri, aku mau.

1 Adli di kantor + 1 Adli di rumah Kakak + 1 Adli di rumah nemenin Eyang.

Hari ini pertama kalinya aku minum obat sakit kepala di kantor. Firasatku berkata, aku akan akrab dengan obat ini ke depannya.

Jaga diri Kakak baik-baik. Makan yang teratur. Adakah yang Kakak perlukan? Buah-buahan? Sayur? Daging? Bahan-bahan makanan? Bilang saja. Aku akan mengirimnya online.

Keputusan Kak Yunan menitipkan Kak Raesha pada Kak Arisa dan Raihan, sangat tepat. Aku menyadarinya sekarang. Kak Yunan pasti sudah menebak, Kakak tak ada yang menemani. Anak-anak sekolah. Aku sibuk di kantor.

Andai aku bisa ada di sana bersamamu, Kak.

Bersabarlah, Kak. Allah bersama orang-orang yang sabar.

Di kamarnya, mata Raesha berkaca-kaca, setelah membaca pesan panjang dari Adli. Adli benar-benar sayang dan perduli padanya. Tulus dan baik hatinya. Raesha meremas bagian luar jantungnya, dengan air mata berjatuhan. Ia berdo'a, semoga Allah kelak menjodohkan Adli dengan wanita yang baik juga.

Raesha mengetik pesan balasan.

Makasih, Adli. Kakak gak kekurangan apapun. Alhamdulillah. Kak Arisa dan Raihan baik sekali. Mereka mengurusi segala urusan rumah dan juga menemani anak-anak. Kami insyaallah akan hadir ke pelantikanmu. Bareng Ibu juga. Sayang sekali Eyang gak bisa hadir sepertinya. Semoga kondisi Eyang membaik. Amin.

Tak diduga, balasan dari Adli datang lumayan cepat.

Baiklah, Kak. Kalau perlu apa-apa, kabari saja aku ya. Maaf aku belum bisa mengurus hibah untuk Kakak dari almarhum Ayah. Dan ada yang ingin aku bahas dengan Kakak. Ada wasiat dari Ayah, terkait dengan kepengelolaan madrasah. Nanti aku akan mampir ke sana setelah pelantikan, insyaallah.

Raesha membalasnya segera.

Jangan pikirkan itu. Fokus saja dengan pekerjaanmu. Kakak tunggu kedatanganmu. Kamu juga, jaga kesehatanmu. Jangan terlalu sering minum obat sakit kepala.

Raesha tersenyum. Adli tak membalas lagi setelahnya. Pasti dia sedang sibuk, tenggelam di antara urusan kantor. Dia tahu, mereka tengah berbagi tugas. Ada yang sibuk berdakwah, dan ada yang sibuk mencari fasilitas untuk kelancaran dakwah. Yoga mengatakannya berkali-kali. Yoga rela menyibukkan pikiran dan raganya, untuk mengumpulkan pundi-pundi, demi kemudahan syi'ar Kak Yunan, Ilyasa dan Raesha. Kak Yunan kini sedang dalam pemulihan. Sementara Raesha? Ilyasa sudah tidak ada. Ismail dan Ishaq masih kecil. Raesha semestinya segera pulih dari keterpurukannya dan bangkit untuk kembali berdakwah. Semestinya. Tapi apa yang terjadi? Dia malah terjebak di kubangan kesedihan dan lebih parah lagi, dendam kesumat pada pembunuh Ilyasa.

ANXI EXTENDEDWhere stories live. Discover now