292 - Rekaman

221 81 13
                                    

.

.

"Dokter itu benar. Dalam kondisi seperti ini, Syeikh memang perlu keajaiban."

.

.

***

Zhafran terkejut saat melihat kerumunan orang-orang membawa mikrofon dan kamera, berdesakan di luar pintu masuk rumah sakit.

Zhafran, Raihan dan Mahzar baru saja turun dari mobil sewaan yang disetiri Mahzar. Begitu tiba di bandara Soekarno Hatta, mereka tidak menunda-nunda waktu dan langsung melesat ke rumah sakit.

"Wartawan?" gumam Zhafran dengan ekspresi tidak suka.

"Sepertinya begitu, Ustaz. Kenapa, Ustaz?" tanya Mahzar bingung dengan reaksi Zhafran.

"A-Aku tidak suka terekspos. Tolong tutupi aku, Mahzar!" seru Zhafran sembari menundukkan kepala.

"Kheir, Ustaz!" Mahzar pasang badan.

Raihan tak mau kalah,  turut menghadang di depan calon mertuanya. "Biar aku di depan, Om!" ucap Raihan lantang, layaknya pahlawan. Jarang-jarang dia terlihat gagah begini di depan Zhafran.

Meski bukan artis atau orang terkenal, Zhafran tetap dilirik oleh para wartawan itu, saat mereka memasuki pintu kaca. Jangkung, blasteran Arab, tampan. Berbeda dengan Yunan yang tidak masalah disorot media, Zhafran dan Maryam sama-sama tidak menyukai jika diri mereka menjadi sorotan orang banyak. Keduanya lebih suka tersembunyi. Berdakwah hanya untuk orang-orang tertentu saja, yang jumlahnya terbatas, seperti di tempat suluk. Itu sebabnya, Syeikh Abdullah memasangkan Zhafran dengan Yunan. Mereka saling menutupi kekurangan masing-masing.

"Siapa? Artis?" bisik salah satu wartawan, pada rekannya sesama wartawan.

"Gak tau. Ustaz kayaknya, kalau lihat baju muslimnya."

"Cakep."

"Kenalannya Syeikh Yunan kali. Mungkin mau jenguk!"

Zhafran, Mahzar dan Raihan tiba di depan meja resepsionis. 

"Gimana, Ustaz? Kita tidak tahu Syeikh dirawat di ruangan mana. Apa sebaiknya saya tanya ke resepsionis?" tanya Mahzar.

"Biar aku chat Elaine," kata Raihan sembari mengetik dengan ponselnya.

.

.

Keluarga Danadyaksa masih berkumpul di dalam ruang rawat. Yoga, Erika dan Dana, membaca surat Yasiin untuk Yunan yang masih dalam kondisi kritis.

Mengambil jarak di sofa, Arisa, Elaine, Adli, Raesha dan Ilyasa, duduk menyantap makan siang mereka. Meski sebenarnya kehilangan selera makan, tapi bagaimanapun mereka harus tetap makan untuk menyambung nyawa, agar bisa menjaga Yunan bergantian.

Notifikasi ponsel Elaine berbunyi. Ia terkejut setelah membaca yang tertera di layar ponselnya.

"Ummi, Kak Raihan dan Om Zhafran sudah ada di lobi," ucap Elaine pada Arisa.

Adli spontan berdiri. "Biar aku jemput mereka di sana. Tolong bilang pada Raihan, aku otw ke lobi," kata Adli.

"Makasih, Adli," ucap Arisa ramah.

"Sama-sama, Kak," sahut Adli tersenyum, meski tak bisa melihat wajah Arisa di balik cadarnya.

Tak lama, Adli kembali masuk bersama Raihan ke dalam ruang rawat.

"Ummi!!" jerit Raihan saat berlari menghampiri Arisa.

Ibu dan putranya itu berpelukan erat sambil menangis, sebelum Raihan memeluk Abinya yang terbaring tak berdaya.

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang