213 - Di Balik Pintu

316 95 18
                                    

.

.

"Nasehat itu, kalau benar tetaplah benar, meski disampaikan oleh orang yang dulu pernah silap dalam mempraktekkan nasehatnya sendiri."

.

.

***

Suasana di ruang makan masih canggung, selepas Ilyasa menelepon.

"Rae," panggil Yunan setelah makanan di piringnya tandas.

"Ya, Kak?" sahut Raesha malu. Dia masih juga deg-degan tiap dipanggil nama kecilnya oleh Yunan.

"Kamu dan Ilyasa belum resmi menikah. Ingat itu. Tidak sepantasnya kalian saling memanggil dengan sebutan 'sayang'."

Alis Raesha berkerut mendengarnya. Meski nasehat itu benar adanya, tapi dulu bukankah Kak Yunan bolak-balik memanggilnya 'sayang' padahal mereka bukan suami-istri?

Tangan Raesha meremas tisu.
"Iya, Kak. Makasih sudah diingatkan," kata Raesha tersenyum.

Yunan terkejut. Tak menyangka Raesha dengan mudahnya menerima nasehat itu. Sempat disangkanya, Raesha akan melawan. Yunan menundukkan pandangan. Seandainya perilaku Raesha yang dulu, seperti Raesha yang sekarang, hubungan mereka mungkin bisa bertahan hingga Raesha lulus SMA. Dan mungkin saja mereka akan --

Yunan mengerutkan kening. Tidak. Dia tidak boleh berandai-andai.

Makan malam berakhir. Raihan menangis saat Yunan menggendongnya ke kamar mereka.

"Aku mau di kamar Tante Rae!!" jerit Raihan dengan tangan menggapai ke arah Raesha.

"Raihan! Jangan bandel! Jangan ganggu Tante Rae terus!" omel Yunan yang mulai merasa terganggu dengan tingkah rewel anaknya.

"Yang nurut ya, sayang. Dadaaah!" Raesha melambaikan tangan.

"Huwaaaa!! Tanteee!!" teriak Raihan berlinangan air mata. Yunan membawanya paksa, sambil misuh-misuh.

Perlahan senyum di bibir Raesha menghilang. Matanya berair. Lho? Kok dia jadi nangis?

Begitu tiba di kamar, sesuai janji, Raesha mengirim chat ke Ilyasa, memberitahu bahwa makan malam sudah berakhir.

Ilyasa segera menelepon.

"Ada apa tadi di ruang makan? Kak Yunan ngajak ngobrol apa?" Dimulailah deretan pertanyaan bernada cemburu.

"Gak ada apa-apa, Oppa. Kak Yunan malah ngasih nasehat buat aku," jawab Raesha.

"Nasehat apaan?"

"Kata Kak Yunan, kita 'kan belum resmi menikah. Jadi mustinya tidak saling memanggil dengan sebutan 'sayang'."

Ilyasa terdiam sejenak sebelum tertawa. "Serius dia bilang begitu? Emang dia dulu sama kamu gimana?"

Raesha menghela napas. "Gak boleh gitu, Oppa. Nasehat itu, kalau benar tetaplah benar, meski disampaikan oleh orang yang dulu pernah silap dalam mempraktekkan nasehatnya sendiri."

Ilyasa terdiam sebelum melengos. "Oke aku akui, aku salah. Aku terbawa perasaan, aku bucin dan cintaku meluap-luap padamu seperti banjir bandang. Dan sekarang, kondisinya diperparah dengan serumahnya kalian berdua!"

"Ya harus gimana lagi, Oppa? Kondisinya emang kayak gini."

"Emangnya beneran Kak Yunan bakal tinggal di rumah Ayah seterusnya?" tanya Ilyasa dengan suara khas orang tertekan.

"Gak tau juga, sih. Aku mau nanya sama Ibu gak enak. Nanti disangkanya aku mau ngusir Kak Yunan sama keluarganya."

Terdengar suara lenguhan depresi Ilyasa di ujung sana.

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang