367 - Rahasia

233 61 4
                                    

.

.

Allah Maha Mengetahui do'a-do'a yang terlantun dari hati-hati yang tulus.

.

.

***

Wajah cantik Elaine, diterangi bias cahaya lampu dari tepian dek kayu di pinggiran danau. Riak kecil di permukaan air danau, sesekali muncul dan gelombangnya berkilauan karena gelap terang karena sinar lampu sorot.

Jemari Elaine lincah mengetik balasan chat untuk teman madrasahnya. Teman sebangkunya yang tahu kalau Elaine minggu ini pergi ke Sumatera Barat untuk menghadiri pertunangan Raihan.

Serius bagus banget danaunya? Fotoin doong! Aku mau liat!

Elaine tersenyum saat mengetik balasan. Oke. Bentar, ya.

Tangan Elaine mengangkat ponsel pintarnya ke udara, mencari-cari sudut pandang yang tepat untuk mengambil gambar. Setelah beberapa saat membidik, ia merasa komposisi pemandangan yang nampak di layar ponselnya sudah oke. Danau di malam hari, dengan kerlip lampu rumah penduduk setempat di seberang danau sana. Cantik sekali, batin Elaine.

Tepat saat ibu jarinya menekan tombol mengambil foto di layar, wajah Adli menutupi pemandangan itu.

"Astaghfirullah!" seru Elaine yang spontan beristigfar.

"Emang mukaku segitu seremnya? Sampe di-istigfar-in," keluh Adli cemberut.

"M-Maaf, Om. Om ngagetin saya, sih," kata Elaine sambil mengelus dada. Kenapa sih, Omnya ajaib begini? pikirnya.

Adli duduk di samping Elaine, tanpa meminta izin terlebih dulu. Tapi ia sengaja mengambil jarak. Tak berani terlalu dekat dengan Elaine. Tahu kalau dari kejauhan sana, Kak Yunan pasti diam-diam mengamati putrinya.

"Ngapain foto pemandangan segala?" tanya Adli terdengar seperti kepo berat.

Elaine mengernyit alisnya. Memangnya kenapa kalau dia ambil foto pemandangan yang indah ini? Salahnya di mana?

"Aku mau kirim ke temenku," jawab Elaine sambil mengecek hasil fotonya barusan. Gagal total. Muka Adli memenuhi nyaris seluruh layar. Benar-benar, Om dari keluarga Danadyaksa ini.

"Ngapain kirim ke temenmu segala? Teman yang mana? Laki atau perempuan?"

Elaine menoleh ke arah Adli yang duduk di sampingnya, dengan tatapan tak percaya. Entah mengapa, pertanyaan Adli terdengar menyebalkan.

"Perempuan. Teman sebangku di madrasah," Elaine menjelaskan meski dengan mimik muka agak sebal.

"Oh. Kirain laki-laki. Kamu gak boleh chat sama laki-laki, pokoknya."

Kali ini Elaine menatap nyalang pria di sebelahnya. "Kenapa gitu? Om 'kan juga laki-laki! Kadang aku balas chat dari Om. Berarti, lain kali aku gak usah balas chat dari Om, gitu?"

"Kecuali AKU! Paham?" tegas Adli sambil menepuk dadanya.

"Kenapa gitu??" tanya Elaine.

"Pokoknya begitu. Jangan banyak tanya," jawab Adli sambil memalingkan muka.

Hih nyebelin! Ngatur-ngatur! misuh Elaine dalam hati. "Terus, Om bisa bebas mau chat sama perempuan siapa pun dia? Cuma aku aja yang dilarang chat sama temanku yang laki-laki?"

Adli memicingkan mata. "Aku cuma chat sama perempuan untuk urusan bisnis. Selebihnya, chat dari teman-teman lamaku yang perempuan, semuanya gak ada yang aku balas. Selain untuk urusan bisnis, perempuan yang kubalas chat-nya, cuma Ibu, Haya, Kak Raesha, dan ... kamu."

ANXI EXTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang