BAB 5. MBAK LEBAH

149 13 0
                                    

"Saya memang merasa bukan wanita yang menarik." Aida menjawab cepat.

"Tapi saya pensaran saja, seiseng apa owner dari apartemen ini sampai menaruh CCTV di setiap ruangan? Apa dia mau mengintimidasi tamunya?" desis Aida menambahkan.

"Wah, picik sekali pikiranmu tentang aku?" dan jelas membuat Reiko bersedakep, kesal.

"Pengalamanku seharian ini melihat skenario yang dibuat keluargamu dan dirimu terhadapku dan keluargaku, memang memaksaku untuk berpikir picik, Pak Reiko."

Hati boleh sakit mendengar untaian kalimat sarkas Reiko. Tapi Aida menimpalinya dengan sangat anggun memutar kata. Dia juga memberikan seutas senyum di bibirnya, tak sama sekali merasa terganggu dengan tatapan sinis dari pria berstatus suaminya itu.

"Semua tempat di rumah ini kecuali kamar-kamar tamu, kamar mandi tamu, itu tidak ada CCTV-nya. Aku tidak berniat menguntit tamuku, mengerti?"

Malas sebenarnya Reiko menjelaskan detail begini. Tapi memang Reiko tak mau ada kesalahpahaman yang menggiring opini.

"Inget!" tambahnya lagi. "Aku bukan maniak berpenyakit mental yang suka mengintipi areal intim bagian tubuh orang lain. Apalagi ngintipin orang cacat," sentak Reiko yang kepalanya juga ngebul mendengar bagaimana Aida nampaknya selalu saja menemukan celah untuk membalasnya.

'Kenapa dia? Berbeda dengan banyak gadis desa lainnya. Anak ini pandai sekali bicara sih? Apa anak jaman sekarang memang seperti dia? Tak sopan sekali!' protes hati Reiko yang belum sempat ingin menyemprot Aida lagi

Tiiiit.

Sebuah suara mendistraksinya.

"Reiko sayang."

Dan sama halnya dengan Aida. Belum sempat menjawab lagi, suara dari pintu apartemen yang terbuka karena seseorang baru saja memasukkan PIN membuat perubahan pandangan matanya dan Reiko ke arah pintu. Tepat di saat seorang wanita terlihat dengan langkah lebarnya tak sabaran. Dia berlari kecil menghampiri dan langsung masuk dalam pelukan suami Aida itu.

Mmuuuuuuah!

Mendekap hangat, dengan senyum di keduanya tampak menunjukkan kerinduan satu sama lain yang saat itu juga membuat Aida merasa risi.

Ya Allah, Ya Rob, zina bibir ini sih,' bisik hati Aida yang membuang wajahnya sontak saat mendengar decakan dari dua bibir yang bersatu. Menjijikkan. Membuat Aida sebetulnya ingin menutup telinganya.

Tapi karena tak mau disangka iri hati atau ingin begitu juga, Aida memilih membuang wajah saja. Malas merespon lebih.

"Maaf ya, tadi aku terlambat dari rumah papa jadi ga sempat menjemput di workshop-mu."

'Jiahahaha, dia mau cepet-cepet pergi tadi dari rumah orang tuanya karena mau menjemput teman zinanya? Cih! Sampai memakiku spa seperempat jam, berbohong ke orang tuanya sendiri, Allahu Robbi!'

Nah, Aida memang masih mengingat jelas alasan Reiko saat izin pulang pada Rika. Gadis itu memang memiliki ingatan yang kuat. Makanya, lagi-lagi Aida mengambil garis merah antara kejadian itu dengan kenyataan yang dilihatnya sekarang. Makin ngedumel-lah dirinya.

"Hmm, aku kesel sih kamu ga jemput aku, sayang. Tapi udahlah, melihat wajahmu sekarang aku ga bisa marah lagi. Gemesss... kangen banget sama kamu, sayang. Apalagi sama pelukanmu yang hangat ini."

"Kamu pikir aku gak kangen juga, hmmm? Aroma tubuhmu ini selalu aku rindukan, strawberry scent with fruit and floral yang bisa menghilangkan stress-ku."

Mmuuuuuah

'Yah, mereka pelukan, tukeran liur lagi! Ish, Ya Rob, usir mereka dari hadapanku, usiiiir ya Rob, please dong, ill feel aku ngeliatnya. Pasangan zina la'natulloh!' tak sabaran sungguh hati Aida meski parasnya masih menunjukkan tanpa ekspresi.

Bidadari (Bab 1-200)Where stories live. Discover now