BAB 8. TERIMA KASIH YA ROB

152 15 2
                                    

'Aku memang sudah lapar. Tapi melihat pemandangan di hadapanku tadi, rasanya perutku malah jadi mual, hyaks.'

Alih-alih merasa lapar justru rasa tak enak itulah yang membuat Aida memilih menutup pintu dan bersandar di belakang pintu sambil mengamati isi kamarnya, hilang sudah semua keinginanya untuk mengisi perut.

'Ya Rob, terima kasih Engkau melindungi mataku dari semua yang tidak ingin aku lihat itu.' Aida bergidik jijik, tapi di saat yang bersamaan juga ketika dia melihat isi ruangan itu.

"Setidaknya kamar ini bisa mengembalikan sedikit moodku."

Ada senyum di bibirnya karena memang kamar itu di luar ekspektasinya.

"Ini pasti bukan kamar pembantu." Aida sangat yakin.

Spreinya lembut dan bersih. Saat tangan Aida bergerak menyentuhnya. Ruangan itu juga dingin dan humiddengan sensor di mana saat panas tubuh manusia diterima oleh sensor maka pengatur udara di dalam kamar itu aktif otomatis dan menyesuaikan sendiri tingkat kelembapan termasuk suhu di kamar tersebut. Ion aktif UV pelindung pun membuat udaranya terfilter dari bakteri berbahaya.

"Seindah inikah tinggal di tempat ketinggian begini?"

Serasa seperti melayang saat mata Aida mengarah ke cakrawala ketika dirinya membuka gorden jendela besar. Aida berdiri tepat di hadapannya, bisa melihat pemandangan kota Jakarta dengan gedung-gedung yang menjulang tinggi, beda dengan pemandangan di kampung, atap genteng, motor berseliweran dan tukang jualan juga tetangga yang lalu lalang.

Suasana baru ini bisa menjadi hiburan sendiri untuknya.

"Waaah, semua tempat ini untuk menaruh barang-barangku, kah?"

Seutas senyum lagi-lagi muncul ketika Aida membuka lemarinya. Besar dan banyak space yang membuatnya tak harus menaruh baju disesak-sesakkan.

"Semuanya sempurna. Bahkan kamar mandi juga sudah seperti hotel berbintang lima yang sering aku lihat di televisi. Wah, berapa ya harganya kalau mau punya apartemen seperti ini?"

Aida hanya bisa menerka-nerka sambil dia senyum-senyum sendiri merasa puas dengan kamar barunya.

Maklum saja dulu di kampung Aida, meski keluarganya cukup berada dia tidak punya yang seperti ini. Rumahnya hanya rumah kampung biasa. Meski rumahnya yang dulu terlihat mewah untuk warga kampung dengan rumah dua lantai dan halaman pekarangan yang luas, tapi tidak seperti ini. Dua tingkat biasa saja dengan banyak barang perabot khas masyarakat yang masih berbudaya menyimpan barang tak digunakan dengan harapan barang itu bisa berguna suatu saat nanti tapi tanpa mereka sadari, seiring berjalannya waktu, barang-barang itu lapuk dan tak lagi dihiraukan. Namun benda-benda itu tetap menjadi penghuni di dalam rumah, pekarangan, kamar dan berbagai sisi sudut rumah sehingga lama-lama rumah penuh dan sumpek.

Beda dengan barang di rumah Reiko yang sudah disusun sedemikian rupa penataannya. Tak bisa disamakan.

Reiko adalah seorang bachelor yang memiliki taste terhadap barang-barang high end stuff jauh dari standar kebanyakan orang. Jadi tentu saja tempat tinggalnya bukan sebuah tempat tinggal yang biasa seperti rumah kebanyakan orang kaya zaman dulu yang ditempati oleh keluarga Endra. Semua yang dibeli untuk prestigetanpa memikirkan fungsi jangka panjang juga.

Di apartemen ini, Reiko sangat berhati-hati sekali dalam pemilihan interior design. Apalagi kekasihnya juga seorang yang mengerti tentang ilmu design interior. Brigita banyak ikut andil dalam pemilihan furniture. Makanya wajar sekali jika setiap sudut rumah itu sangat menawan dan memanjakan netra siapapun yang berada di dalamnya.

"Gila sih, semuanya di rumah ini, termasuk kamar ini kayaknya serba keren dan otomatis kebanyakan, wow." Aida tak salah menilai.

Memang semua yang ada di apartemen itu adalah super premium stuff dengan teknologi terbaru seperti sebuah hunian smart home for better living yang biasanya hanya bisa dilihat oleh Aida di iklan televisi, tik tok, youtube, dan sumber video online lainnya termasuk film dan acara live show.

Bidadari (Bab 1-200)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang