Bab 46. SINIS SEKALI

48 4 0
                                    

"Hoaaaam." Aida menutup mulutnya saat dirinya berguling-guling di tempat tidur sebelum dia melantunkan doa dan membuka matanya. Saat ini dalam posisi duduk, Aida mengarahkan netranya melihat ke arah jam dinding.

"Alhamdulillah sekarang aku bangunnya nggak kesiangan."

Dia langsung tidur selepas Isya karena tak punya tenaga lagi.

Tempat tinggal Reiko itu sangat besar sekali. Bukan seperti apartemen pada umumnya. Luas lantai atas dan bawah ini satu ukuran dengan besar gedung apartemen itu.

Jadi sama saja Aida membersihkan dua lantai sekaligus. Ini membuat tubuhnya merentek. Aida butuh waktu untuk terbiasa.

"Solat dulu ajalah."

Syukurlah semua itu ada positifnya juga. Tidur cepat membuat dirinya bangun lebih awal di jam tiga seperti waktu biologis biasanya.

Aida juga bisa dengan santai berdoa dulu, tidak terburu-buru seperti kemarin.

Keluar dari kamar setelah salat subuh pun dia juga lebih tenang. Tahu apa yang harus dilakukannya dan sambil berjalan menuju dapur dirinya juga membawa pitcher yang sudah kosong yang tadi malam sengaja dibawanya ke kamar supaya tidak harus bolak-balik ke dapur kalau haus.

"Jadi memang jam biologismu membuatmu selalu terbangun jam segini?"

Belum juga Aida membuka kulkas dan mengambil apa yang ingin dibuatnya sebagai sarapan pagi seseorang sudah menyapanya lebih dulu dan berdiri tepat di jalan masuk ke dapur

"Iya Pak." Aida tidak memperpanjang pembicaraan hanya kalimat itu yang terurai sambil dia membuka kulkas yang tadi tertunda

"Apa yang kamu makan kemarin?"

"Oh, kemarin saya cuman ambil buah Pak. Nggak sempet buat masak."

Aida tak tahu apa maunya orang itu. Kenapa dia malah mengintrogasi Aida di saat dirinya sedang ingin membuat sarapan pagi.

Apakah dia tidak punya pekerjaan? Kenapa dia selalu bangun pagi hari seperti ini?

"Cuma makan buah? Apa kamu berencana untuk diet dengan badanmu yang sudah terlalu kecil itu?"

Namanya juga orang baru sembuh dari kanker. Ya tubuhnya tentu saja tidak proporsional. Bisa dibilang Aida memang sedikit kurus. Tapi bukan berarti kurus kering.

Lagi pula perawakannya juga kecil sehingga membuat dirinya memang tampak mungil dibandingkan dengan Reiko yang tingginya hampir 190 cm itu

"Kemarin saya lupa Pak untuk makan. Jadi pas makan ya pas buka puasa itu. Tapi mau masak lagi di dapur nggak sempet karena udah ngantuk."

Orang ini maunya apa sih? Kenapa pagi-pagi aku diinterogasi seperti aku ini maling? Aida kesel sendiri sih melihat Reiko yang ada di dapur dan mengganggu kerjanya begini

Kenapa jam biologisnya juga jam segini sih? Heish, bomatlah.

Aida tak tahu dan sebenarnya dia juga tidak ingin tahu. Hanya saja hatinya kesal saja diberikan pertanyaan aneh-aneh macam itu.

Makanya dia sangat cuek sekali dan hanya fokus pada pekerjaannya

Namun

"Ini." di saat Aida sudah mengeluarkan barang-barang dan menaruhnya di meja untuk diolah pria itu malah mengulurkan sebuah kertas dari saku celananya

"Lain kali jangan menaruh kertas seperti ini di dalam kamar tidurku."

"Maaf ya Pak."

Tak berniat untuk menunggu jawaban dari orang yang mengulurkan secarik kertas itu, Aida sebetulnya hanya ingin mengambil kertasnya

Tapi

"Kalau ingin mengirim pesan seperti ini padaku taruh saja di ruang kerjaku. Taruh di meja kerjaku dan aku akan membacanya setelah aku kembali."

Kertas itu tidak bisa ditarik oleh Aida karena pria itu masih menahannya sehingga tangan mereka sama-sama memegang ujung-ujung kertas bersebrangan.

"Baik Pak saya mengerti."

"Kamu bisa lihat di walking closet ku di sana ada sprei. Gantilah setiap hari. Aku suka yang higienis dan bersih."

Higienis dan bersih? Tapi dia memilih jodohnya sendiri dengan cara yang kotor. Menjijikan. Apa dia pikir zina itu bersih? bisik dalam hati Aida ketika dia mendengar ucapan dari Reiko sambil dia mengangguk pelan

"Dan kapan Anda ingin melepaskan kertasnya Pak?"

Jangan salahkan Aida bertanya begitu. Bukankah tadi Reiko memang sudah memberikan kertasnya dan Aida seharusnya mengambilnya bukan? Tapi kenapa tangan pria itu masih menahannya?

"Kamu masak apa hari ini?" Tanpa rasa bersalah Reiko pun melepaskan itu. Dia bersikap cuek dengan tangannya kini berada di saku celananya melirik ke arah meja tempat Aida ingin melakukan preparation.

"Salad sayur dressingnya pakai minyak zaitun," ucap Aida tanpa menatap Reiko. Tangannya masih bekerja memotong-motong ketimun. Ditambah lagi ada selada, tomat, wortel dan bawang bombay yang juga menunggu antrian.

Dia terlalu sibuk untuk menghabiskan waktunya menatap reiko yang menurutnya tidak ada guna. Jadi pandangan matanya hanya pada apa yang harus dikerjakan saja.

"Kalau ditambah oregano lebih enak itu."

"Saya belum beli Pak. Kemarin cuman kepikiran pakai minyak zaitun sama lemon aja. Besok saya beli, Pak."

Ini anak ngomongnya irit-irit banget ya? bisik hati Reiko melihat Aida yang memang tidak banyak bicara.

Bahkan sama sekali seperti tidak ada minat untuk menatapnya.

"Ehm, apel itu untuk apa? dicampur juga ke sana?"

Reiko juga bingung kenapa dia tidak pergi saja dari tempat itu daripada dia seperti mencari-cari bahan pembicaraan seperti ini?

"Apelnya rencana dibuat jus Pak."

"Lalu kenapa hanya menyiapkan dua mangkuk salad?"

Lagi dan lagi Reiko masih menginterogasi Aida yang kini sudah memasukkan potongan-potongan sayuran tersebut ke mangkuk masing-masing. Dia bekerja cukup cepat dan memang seperti sudah terbiasa bekerja di dapur. Ini semuanya sangat sistematis

"Bukannya cuma ada Anda dan kekasih Anda? Atau ada tamu lain?"

"Hei. Kalau bicara padaku tatap aku. Kenapa matamu terus aja ke sana?"

Bukan menjawab pertanyaan yang diberikan Aida malah layangan protes yang diberikan oleh Reiko yang dari tadi memang merasa cukup kesal pada Aida yang cuma menjawab sekenanya aja ditambah lagi dia sama sekali tidak menunjukkan manner ingin bicara baik-baik dengan Reiko merasa kalau seseorang ingin bicara harus saling menatap.

"Apa kamu pikir dengan kamu melihatku maka aku bisa jatuh cinta padamu?"

Sedetik kemudian setelah Reiko menyelesaikan kalimat yang pertama tadi dia sudah melakukan protes lagi dengan ucapannya barusan.

Sungguh sebuah ucapan yang membuat Aida sedikit kehilangan penjagaan emosinya.

Hingga dia mengalihkan pandangan matanya pada Reiko.

"Apa Anda ingin saya bicara dengan Anda sambil memandang Anda begini Pak?"

"Bukankah itu adalah bagian dari sopan santun? Dan tidak seharusnya kamu bicara padaku seperti bicara pada musuh." Reiko tidak menjawab iya ataupun tidak. Tapi dia mengembalikan semuanya kepada Aida.

Bukankah mereka harus bicara memang saling tetap menatap? itu yang dia pelajari dari cara berbicara dengan penuh etika pada orang lain. Lagi pula dia datang ke sana tidak ingin mengajak ribut Aida.

"Apa ada yang lucu dari yang aku katakan sampai kamu tersenyum?"

Tapi lagi-lagi Reiko tak mengerti kenapa Aida malah tersenyum dan kembali fokus pada apa yang ada di mejanya

"Adab berkomunikasi dengan lawan jenis yang saya tahu itu salah satunya adalah harus menundukkan pandangan dan tidak membuat suara mendayu."

"Eh, apa maksudmu?"

Bidadari (Bab 1-200)Onde as histórias ganham vida. Descobre agora