Bab 168. LAPAK BERKREASI

25 3 6
                                    

"Apa Rasya tidur, Sandi?"

Ajudannya sudah kembali tapi mana mereka bertiga? Apa dia ditahan dan sedang bicara dengan Tuan Raditya? Tapi apa yang ingin mereka bicarakan?

Saat Riyanti bertanya, Aida yang tangannya masih memegang tangan Riri sontak menengok cepat pada dua pria dewasa yang baru masuk ke dalam Villa dari pintu belakang.

"Iya Nyonya Riyanti. Saya akan membawanya ke kamar dulu."

"Oh ya sudah Sandi, kalau begitu minta bi Ningsih untuk menemanimu. Biarkan dia di dalam sana sama BibNingsih, jadi kalau dia nanti kebangun tidak akan nangis."

"Baik Nyonya."

"Padri, bagaimana kalau kau temani aku main catur?"

Bambang yang masih duduk di kursinya yang sama dia melirik pada Padri dengan senyum di bibirnya.

"Saya pasti selalu saja kalah pada Anda Tuan."

"Makanya aku senang bermain catur denganmu."

"Nah, main catur saja yang kau ingat. Katanya mau ke sini mau rapat," cicit Riyanti mengomentari suaminya.

"Yah memang ada rapat. Tapi kan Warsono sudah menggantikanku rapat di perkebunan. Jadi, aku bisa leyeh-leyeh," protes Bambang.

"Ayo Padri, sebelum Radit datang, aku males bermain dengannya."

Bambang tak sabaran. Karena kalau dia bermain dengan Raditya sudah pasti dia akan kalah dan anak itu tidak akan pernah mau mengalah dengannya.

Tentu saja Padri tak menolak. Lagi pula tak ada pekerjaan yang ingin dia lakukan juga setelah tadi Padri menjelaskan konsep-konsep tamannya kepada Reiko.

Hah, kenapa cuman aku yang sepertinya stress sendiri memikirkannya di benakku?

Tak tahulah Aida hiperbola atau apa. Tapi memang dia merasa sangat cemas sekali meski Aida bisa menutupinya karena dia memang masih membantu Riri mewarnai.

"Nah sudah selesai, jadi nih."

Senang Aida sekaligus pegal juga dia setelah menggambar beberapa kali.

Sudah empat canvas. Ya ampun melelahkan sekali. Tapi anak ini nampaknya senang, berarti aku sukses, kan?

"Aida, terima kasih ya karena kau ada di sini cucuku dari tadi sudah bisa senyum-senyum terus."

Riyanti memang masih ada di samping Aida dan tentu saja dia sangat bahagia sekali setiap kali Aida sudah menyelesaikan satu gambar bersama dengan Riri.

"Tante mo mekup?"

Tapi ada satu orang yang tampaknya belum happy dan menghampiri Aida penuh harap.

"Oh boleh."

Melihat adiknya terus-terusan bermain dengan Aida dan menggambar, dirinya yang bermain make up sendiri jadi sedikit iri dan ingin diperhatikan juga.

"Tapi tante enggak bisa make up. Rere pintar ya make up-nya?"

Tentu saja gadis itu tersenyum dan mengangguk.

"Rere cantik sayang, Tantenya nggak usah di make up-in. Nanti muka tantenya jadi berantakan dan kotor. Rere make up sendiri aja, ya."

Hahaha, aku rasa dia sudah tidak punya lahan lagi di wajahnya untuk menorehkan make up. Liat aja udah cemong-cemong kayak gitu, cicit di dalam hati Aida karena memang dari tadi Rere bermain make up dengan wajahnya sendiri.

Mungkin dipikirnya itu sudah sangat cantik sekali riasan wajahnya.

Tapi namanya juga anak di bawah dua tahun mainan make up seperti apa sih yang bisa mereka buat? Melihat wajah Rere saja, Aida sudah menahan tawa.

"Api lele ica kok bikin ante cantik."

Namun anak itu memang memiliki keinginan yang lebih kuat daripada adiknya untuk memaksa.

Jadi tentu saja dia lebih bisa bernegosiasi soal ini.

"Tantenya nggak di make up juga udah cantik kok, Rere."

"Tidak apa-apa Nyonya. Saya rasa kalau hanya di make up seperti itu saja tak masalah lagi pula itu kan berbahan dasar air dan kapan lagi saya di make up sama si cantik yang menggemaskan ini."

Jelas Rere tersenyum saat Aida mengelus pipinya.

Aida tidak mau menolak dan ini bukannya akan lebih baik baginya?

Kalau aku sibuk, aku tak harus memikirkan dia. Tapi memang kalau dia kenapa-napa itu semua karena masalah yang aku buatkah?

Aida tak paham harus bagaimana.

Tapi sejujurnya dia juga sangat khawatir sekali dengan Reiko meskipun berusaha untuk menutupinya.

"Mana coba Tante pakaikan make up-nya."

Jari telunjuk Aida menunjuk kepada pipinya sendiri sehingga Rere dengan semangat dia pun mengangguk dan mendekatkan semua perlengkapan make up-nya yang baru itu.

"Lele kacih melah melah pink. nti ante cantik"

"Haish, apanya yang dia mau buat cantik itu."

Sindiran Riyanti yang membuat Aida tersenyum juga.

"Mungkin sekarang cuma bisa bikin coretan Nyonya. Tapi nanti kalau dia sudah besar mungkin saja dia jadi pemilik salon besar? Make up artis terkenal? Sepertinya dia berbakat untuk melakukan itu."

Aida sih hanya asal ingin menghibur saja. Berkata baik bukankah itu bagian doa?

Dan kini dia memang harus pasrah menyerahkan wajahnya.

Tak tahulah seperti apa nanti jadinya. Tapi mungkin kacaunya wajahku nanti tidak sekacau hatiku.

Hati Aida hanya bisa berpikir seperti ini saja.

Dia kepikiran banyak hal. Apalagi sudah setengah jam berlalu saat dirinya menengok ke arah jam tetap saja Reiko belum muncul.

Kesel sekali Aida sampai dia harus memaki dirinya sendiri karena terus-terusan memikirkan apakah nasib Pria itu baik-baik saja berhadapan dengan Raditya?

"Rere, udah dong, kesian Tantenya, masa make upnya lama?"

"Bu um. Alo lama ante cantik mekupnya."

"Haduh, anak ini. Kamu make up-in adikmu saja Riri dia kan belum di make up-in dan belum cantik."

Tak enak hati lah Riyanti makanya dia mencoba membujuk cucunya.

"Tapi tidak apa-apa kok Nyonya. Ini juga seru," ucap Aida yang memang tak mau mempermasalahkan juga.

Dia sudah pasrah saja dari tadi karena memang pikirannya juga sudah galau melanda jadi ini adalah cara terbaiknya supaya dia juga tidak terlalu banyak ditanya-tanya oleh Riyanti.

"Tapi mungkin, Riri bisa dipindahkan dulu tidurnya? Atau memang dibiarkan saja dia tidur di sana Nyonya?"

Anak itu memang sepertinya sudah mengantuk. Dia makin mengantuk karena tadinya seperti ingin meminta Aida mewarnai lagi dengannya tapi kakaknya sedang mereparasi wajah Aida sehingga Riri yang tak berani mengutarakan keinginannya hanya berusaha bersabar menunggu sampai kantuk menyerang.

Aida yang melihat itu pun merasa kasihan karena tidurnya Riri kurang nyaman.

"Oh iya, sebaiknya dipindahkan saja ke kamarnya bersama dengan kakaknya Rasya."

Riyanti kembali memanggil pelayan untuk membawa cucunya ke lantai dua

"Rere, udah dong."

Sambil Rere menguyek-nguyek semua yang dia punya di wajah Aida, entah berapa macam warna sudah, Riyanti membujuknya untuk berhenti, tapi Rere masih tetap mau berkreasi.

Sehingga Aida tetap membiarkan, hingga....

"Ya ampun, Rere, Tantenya diapain?" teriakan dari belakang, suara wanita membuat Aida enggan menengok.

Memalukan wajahku pastinya. Apa dia ada bersama nyonya Nada? Aida tak tahu, tapi dia ingin menyembunyikan wajahnya cuma sayang kedua tangan Rere memegang kedua pipinya dan membuat wajah Aida menengok ke kiri sambil bicara

"Om Eiko antenya cantik kan?"

Bidadari (Bab 1-200)Where stories live. Discover now