Bab 99. APA DIA MARAH?

42 4 0
                                    

Habislah aku. Saat dia kembali nanti dia pasti akan mengomel padaku kan? keluh Aida di dalam hatinya sambil dia meringis pelan

"Mana aku laper lagi, haduuuh, dari kemarin aku juga belum makan. Bahkan dari hari sebelumnya aku belum makan. Apa dia lupa pecelku dimakan olehnya?"

Aida bicara sambil menggerakkan tangan kanannya yang sudah bisa digerakkan perlahan-lahan jarinya karena anestesinya sudah mau habis.

Tapi tangan kiri dan kaki kanannya masih belum merespon apapun. Dan Aida baru bener-bener bisa merasakan lapar itu sekarang.

Tadi malam dia demam dan malam sebelumnya dia sudah kelelahan karena harus merapikan rumah.

"Dan ke mana dia? Apa dia meninggalkanku lagi di apartemen ini sendirian? Ya ampun kalau begitu aku harus menunggu sampai anastesi ini hilang baru bisa ambil makan."

Posisi Aida sekarang juga masih ada di tengah tempat tidur. Tidak dipinggir kanan dan kiri karena tadi untuk memudahkan Alif dan Silvy mengobatinya.

"Dan aku belum minum obat pereda nyeri. Kalau begini ceritanya nanti saat anastesi ini hilang pasti sakit banget kaki dan tanganku," keluh Aida lagi, yang tak tahu bagaimana nasibnya tapi yang pasti sekarang dia kesal sekali karena Reiko tak kembali.

Padahal tadi dia sepertinya hanya ingin mengantar Silvy dan Alif keluar apartemen.

"Eish, biarkan saja. Tak perlu makanlah. Aku minum saja dulu obat pereda nyeri dan aku ke dapur nanti kalau sudah gak baal," seru Aida yang memang tak mau berharap pada Reiko.

"Lagi pula bagus begini. Dia tidak akan mengomel padaku bukan? Dibanding dia ada di sini akan terus saja membuat aku sulit."

Dan itulah semua yang ada di pikiran Aida. Tapi apa benar Reiko meninggalkan dirinya sendiri di apartemen?

Mudah-mudahan dokter Alif tidak bicara pada siapapun.

Reiko hanya bisa berharap kalau dokter Alif mau mendengar yang dia katakan tentang rencana keluarganya untuk menyembunyikan dulu pernikahan ini sampai batas waktu mereka akan membuat resepsi besar.

Tapi istrinya curigaan sekali. Dan di akhir-akhir baru aku sadar kalau dia sepertinya curiga kalau aku melakukan KDRT. Dari cara dia bicara dan memandangku juga senyumnya.

Yah, saat Silvy meminta jawaban Reiko apakah dia sudah jelas atau tidak, di situlah Reiko mulai merenung kejadian bagaimana Silvy juga meminta padanya untuk menyiapkan beberapa kebutuhan dan meminta yang seakan diperlukan tapi sebenarnya jebakan.

"Ah, harusnya aku bilang dia tidak tinggal di kamar itu, tapi dia sementara direlokasikan ke kamar itu untuk mempermudah akses supaya mereka berdua tidak harus naik tangga mengobatinya."

Reiko malah sedang menilai kekurangan apa yang dia lakukan tadi.

"Tapi wanita itu cerewet sekali. Dia pasti akan mengamati isi ruangan dan dia bisa melihat kalau di sana barang-barangnya lengkap. Apa aku bilang dia memang suka belajar di sana atau itu adalah ruangan santai untuknya?"

Ini juga yang membuat Reiko manyun.

"Ah sudahlah. Pusing aku. Mana dia akan datang tiga hari lagi," keluh Reiko yang kini matanya menjurus ke satu tempat.

"Sebaiknya aku siapkan saja sesuatu untuknya makan. Dia harus minum obat, kan?"

Meskipun menggerutu, Reiko kini berjalan ke arah dapur. Namun langkahnya terhenti dan memilih mengambil handphone untuk menghubungi manajemen apartemen.

"Aku butuh housekeeping untuk hari ini dan tiga hari ke depan dulu. Tolong kirim ke unitku setiap harinya seperti biasa."

Reiko bicara pada penyedia jasa house keeping yang biasa dia gunakan.

"Benar-benar kau menyiksaku. Gara-gara kau sendiri menipuku masalah Waluyo sekarang aku juga yang harus mengurusmu. Seakan-akan akulah yang bersalah."

Reiko ngedumel sambil dia mengambil sesuatu di kulkas dan kini menuju ke tempat penyimpanan beras.

Tangannya bergerak untuk menyiapkan bahan makanan tapi mulutnya tak berhenti mengomel pada Aida.

"Haah, dan aku juga lupa sesuatu." Reiko sudah selesai memasak dan sekarang dia tinggal menunggu makanannya ini matang.

"Aku rasa aku harus membeli ini untuknya. Hmm ... ukurannya S aku rasa."

Reiko mengulik handphonenya dan mencari beberapa barang di sana.

"Harus datang hari ini juga. Dan pembalut," serunya lagi sebelum dirinya melakukan pembayaran.

"Pfffh, gadis bodoh. Seumur-umur aku pacaran dengan Bee belum pernah aku mengurus sampai ke dalaman-dalamannya. Dan dia apa tidak tahu bahan yang dia beli itu buruk untuk kesehatan? Tidak semua katun itu baik. Dan lagi pembalut saja harus aku carikan yang bagus? Wanita macam apa dia?"

Reiko mengumpat sambil memasukkan handphone ke sakunya.

Dia memang melakukan sesuai dengan yang dia janjikan pada Aida untuk mengganti semuanya.

Tapi tentu saja Aida yang ada di dalam ruangan tidak tahu apa saja yang diperbuat olehnya.

Sampai Reiko selesai memasak sekitar setengah jam setelahnya, barulah dia menuju ke kamar Aida.

"Apa rasa baalnya sudah mulai hilang?" tanya Reiko sambil membuka pintu

krukuuuuuk.

Aish, memalukan. dia bertanya malah perutku bunyi.

Mana itu bukan sekedar bunyi. Rasanya begitu menyakitkan sekali karena perih.

Dan Reiko tentu saja mendengar karena tidak ada suara apapun di sana.

"Ehm, maaf sepertinya asam lambungku kambuh. I-iya rasa baal-nya sudah mulai hilang kok," seru Aida yang kini berusaha menopang tubuhnya dengan tangan kanannya dan menyeret tubuhnya supaya dia dalam posisi duduk.

"Tangan kananku sudah benar-benar bisa digunakan tuh." Aida bicara saat Reiko sudah berdiri di samping tempat tidurnya dan meliriknya.

"Terima kasih Pak makanannya. Itu untukku kan? Bisa Bapak berikan padaku sekarang? Aku sudah lapar sekali. Apalagi Bapak sudah mencuri pecel dan gorenganku."

Dosa aku deh sudah berpikir negatif tentangnya. Ternyata dia benar-benar menyiapkan makanan untukku? Dan Aida tadi bicara cepat seperti itu sebenarnya untuk menutupi rasa gugup di dalam dirinya karena memang dia sangat malu sekali dari tadi sudah memaki-maki Reiko di dalam kamarnya, meski pria itu tak tahu.

"Bisa makan sendiri? Apa minta disuapin?"

Saat menaruh nampan lipat, Reiko menyindir Aida lagi yang segera menggelengkan kepalanya pelan.

"Tangan kanan saya sudah bisa pegang sendok kok Pak, jadi Bapak nggak perlu khawatir," ujar Aida yang berusaha menggerakkan jari tangannya di hadapan Reiko.

Meski semua bagian telapak tangan dan jarinya semua diperban.

"Bismillah."

Dan Aida tak peduli dengan tanggapan Reiko dia sudah membuka mulutnya untuk memakan makanan yang terhidang di hadapannya.

"Hei. Itu makanannya masih panas," seru Reiko mengingatkan karena Aida mau langsung memasukkannya ke dalam mulut.

"Saya suka makanan panas kok Pak. Jadinya nggak perlu khawatir," seru Aida yang tetap saja ingin menyuap makanan itu membuat Reiko geleng-geleng kepala.

"Berhenti."

Baru juga Aida mau makan suapan pertama tapi sudah dihardik lagi oleh Reiko.

"Melihatmu makan membuatku jadi sebal."

"Eeh, Pak makanannya."

"Sudah biar aku suapi saja. Nanti yang ada lidahmu kebakar kalau kamu makan seperti itu." Reiko mengambil paksa sendok yang ada di tangan Aida dan tadi menggerakkan meja lipat itu mendekat padanya.

"Buka mulutmu dan makanlah!"

Kata-kata yang membuat Aida tersenyum dan membuang wajahnya sambil geleng-geleng kepala.

"Kenapa lagi? Cepat buka mulutmu dan makan!"

Ekor mata Aida pun melirik pada Reiko sebelum bibirnya berdesis:

"Bapak segitu ngebetnya kah pengen nyuapin saya?"

Bidadari (Bab 1-200)Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin