Bab 121. MADU DAN RACUN

33 4 1
                                    

"Nggak usah ngegas gitu deh Pak."

"Ya kamu, bikin aku pening aja. Disuruh, ngeles terus!" sengit Reiko lagi. "Terus ngapain juga kamu tutup-tutupin gitu? Dari tadi aku juga udah liat bentuknya kayak gimana, gak bakalan bikin aku nafsu."

"Saya sangat bersyukur kalau Bapak gak nafsu. Karena saya juga nggak nafsu sama Bapak." Aida berdesis.

"Sekarang Bapak keluar deh. Terus sini kasih ke saya cukurannya." Telapak tangan Aida pun membuka membiarkan Reiko menaruh sesuatu di sana tapi tentu saja bagian tangan kirinya tidak mau ditarik dari pangkal kakinya.

Aida tidak menutupi bagian atas tubuhnya karena dari tadi Reiko menyinggung bagian itu tidak perlu ditutupi. Tidak ada yang harus ditutupi, sudah rata.

Seakan tertantang dengan ucapan Reiko makanya dia memilih menutup di bagian bawah saja.

"Cukur yang bersih."

"Naaah, Bapak ngapain di situ, minggir. Keluar dulu Pak," sentak Aida emosi.

"Sekarang gini bagian kaki saya kebuka udah kayak bentuk huruf V, soalnya Bapak ganjel kaki saya dua-duanya pakai kursi. Terus Bapak di tengah-tengahnya, jongkok, saya di suruh bercukur, Bapak mo ngapain liatin milik saya?"

"Kamu tuh milik saya. Sejak ijab kabul itu kamu milik saya," sentak Reiko lagi. "Saya cuman mastiin apa yang saya punya itu bersih. Cepat bersihin nggak usah banyak omong."

"Bapak nih ya. Saya itu bukannya barang."

"Sssh, jangan buat kepalaku pening. Cepat bersihkan itu atau kamu nanti masuk angin di sini berlama-lama di kamar mandi. Apa kamu ingin nunjukin terus tubuh kamu yang rata depannya itu di hadapanku, hmmm?"

"Issssh." Aida kesal dan gemas, akhirnya dia terpaksa membuka tangan kirinya, menunduk, untuk memastikan dia mencukur dengan benar.

"Di situ belum bersih."

Gila sih matanya ngeliatin kayak gitu kayak ngelihat berlian. Sampai detail banget harus bersih, kesal Aida, karena detail sekali Reiko mengomentari dan mengoreksinya.

"Ssssh. Berdarah itu, kenapa bercukur gitu aja bikin aku stress sih ngeliatnya?" omel Reiko.

"Diam. Sini kasih ke aku cukurannya. Jangan ngelakuin apa-apa."

"Pak, jangan dibuang, itu bisa dipake lagi." Reiko sudah mengambil cukurannya.

"Yang kayak gini itu cuma bisa dipakai untuk satu kali aja. Ini bukan untuk dipakai berkali-kali. Ah, kamu ni."

Reiko kesal sendiri kenapa dia juga harus ceramah untuk masalah sepele macam ini.

"Tunggu diam di sini." Dan selesai bicara, Reiko keluar sebentar dan kembali terburu-buru.

"Pakai ini." Dan menyerahkan kapas yang sudah diberikan antiseptik. "Sudah jangan dibersihkan lagi. Nanti biar aku yang urus."

"Ga mau. Nanti aku pakai cermin aja bersihinnya. Mana aku tahu itu berdarah. Soalnya kan tadi disuruhnya sampai ke belakang-belakang juga bersih-bersihin."

"Ya iyalah, bulu yang terhubung antara lubang depan dan belakang itu yang rentan bakteri dan harus bersih. Bukan bagian depan aja. Karena bakteri dari bagian belakang itu bisa berpindah lewat bulu," sengit Reiko. "Besok aku uruslah. Sekarang jangan dulu karena itu baru berdarah."

"Ih, aku gak mau. Kalau aku udah bisa ngebersihin sendiri biar aku yang bersihin sendiri."

"Diamlah." Reiko sudah mengambil shower dan dia langsung menyiram tubuh Aida yang tentu saja membuat Aida ngedumel dalam hatinya

Bidadari (Bab 1-200)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora