Bab 173. PEDAS

33 4 1
                                    

"Ya benar, dia memang tak berjanji datang kembali. Tapi kenapa rasa hatiku jadi sesak gini?"

Ini membuat Aida tersenyum sinis saat berbisik.

"Ayo, latihlah dirimu jalan yang benar! Kamu bisa urus dirimu sendiri, ingat, jangan bergantung pada manusia, Aida! Itu hanya akan menimbulkan sakit hati! Hanya Tuhanmu tempatmu bergantung!"

Aida tak ingin larut dengan kebodohan pikirannya yang sudah bergantung dan memang sudah merindukan Pria itu.

Sruuuut!

"Kenapa kamu menangis sih?"

Aida berusaha untuk berjalan di kamarnya bolak balik dan membiasakan dirinya berjalan normal lagi. Tapi air matanya tak surut-surut.

Dia tak paham.

"Jangan menangis! Kalau tiba-tiba dia mengetuk pintu kamarmu dan melihatmu menangis bukankah kau akan terlihat bodoh dan seperti seorang badut?"

Hardik Aida pada dirinya sendiri, sambil punggung tangannya bergerak untuk menghapus air mata itu dan kembali berusaha kuat.

"Kamu sudah banyak terlihat bodoh di hadapannya! Saat dia memandikanmu! Saat dia membersihkan kotoran yang ada di tubuhmu bagian bawah depan dan belakang, saat dia berpikir kalau dia sudah memberikan yang terbaik padamu dan kamu berpikir kalau dia benar-benar perhatian padamu! Bukankah ini hal yang paling bodoh yang ada di dalam benakmu, Aida?" makian Aida lagi masih dengan langkahnya bolak-balik namun kini dia tersenyum tak lagi membiarkan dirinya menangis.

"Tertawalah jika kamu mau menangis! Lebarkan tawamu dan tunjukkan wajah bahagiamu di saat dirimu benar-benar hancur! Karena tidak ada orang yang peduli pada dirimu kecuali kau sendiri, Aida!"

Pekik Aida sambil matanya menatap ke cermin yang ada di pintu lemari pakaiannya.

"Ayolah semangat! Lihat kamu udah bisa berjalan dan sekarang kamu tidak perlu merendahkan dirimu dan memperlihatkan tubuhmu ini di hadapan orang lain! Dia bukan siapa-siapamu dan jangan berpikir dia akan menjadi suamimu selamanya!"

Entahlah tapi rasa sakit itu tidak bisa hilang juga. Makanya Aida terus-terusan mencoba memprovokasi dirinya dan membenarkan semua omelannya tadi.

Aida berusaha kuat. Perlahan tapi pasti dia bisa melangkah lebih cepat. Sakit terasa di telapak kakinya tidak sesakit seperti yang kemarin-kemarin. Aida berusaha untuk berjalan normal sebaik mungkin.

Hingga....

"Sudah jam sebelas, aku lapar juga!"

Ya terakhir makan memang di dalam mobil kemarin. Itu pun Aida hanya memakan separuh kebab.

Wajar jika perutnya sudah tak lagi bisa menahan keinginan untuk diberikan tambahan energi.

"Mari kita urus makananmu sendiri, Aida!"

Memang Aida harus berharap seseorang akan memasakkan untuknya dan membawakannya ke kamar?

"Hah, jangan pernah bermimpi bodoh lagi!" seru Aida sambil melangkah keluar dengan semua sakit yang disembunyikannya.

Perih hatinya yang tak bisa dimengerti oleh Aida, berusaha diabaikan olehnya dan berusaha terlihat baik-baik saja ketika melangkah menuju ke dapur.

Tapi memang tak bisa dibohongi kalau perasaannya tidak enak. Bawaan emosinya masih naik turun tidak karuan tapi Aida memang berusaha untuk mandiri.

Oke kita ambil positif dari semua yang sudah terjadi. Karena dia tidak muncul aku bisa membuktikan padanya nanti kalau aku memang sudah tidak lagi membutuhkan dirinya. Dan dia tak perlu datang lagi ke kamarku, tak perlu lagi membantuku, aku bisa semuanya sendiri. Aku tak perlu merendahkan diriku di hadapannya lagi! cicit Aida yang kini sudah ada di dapur. Dia mengambil satu potong buah apel dari kulkas dan menggigitnya, sambil duduk di kursi biasa dirinya makan.

Bidadari (Bab 1-200)Where stories live. Discover now