Bab 111. TIGA PULUH TAHUN BERLALU

46 6 0
                                    

"Oh ndak bisa, Le. Kakek itu sekarang sedang buru-buru."

Khawatir diajak bermain catur, Adiwijaya berkelit lagi.

"Tadi itu kakek hanya menjelaskan saja kalau Farhan itu orang yang berpengaruh. Tadi kamu yang nanya juga."

"Yakin, kakek ndak mau main catur dulu sambil ngobrol? Itu kan Kakek belum cerita semua berpengaruh seperti apa orang yang tadi kakek bilang itu?"

Karena itu kakeknya benar-benar sinis menatap Reiko yang memberikan pertanyaan begitu. Meski Reiko bertanya seakan dirinya tak bersalah, tanpa ekspresi.

Mengemis padanya untuk memasukkan bisnis kami ke Mesir? Tak sudi aku. Siapa tadi namanya? Farhan? Sama saja dengan mertuanya Waluyo, Cih. Tidak mau, seru hati Reiko menentang keras sebetulnya.

"Ndak ada waktu. Yo wes Ko, aku muleh sek yo. Jaga semua baik-baik ya. Jaga istrimu."

Permintaan kakeknya yang dijawab Reiko dengan anggukan kepala sambil dia mendekat pada Aida.

dag dug dag dug

Lemas sudah wanita itu ketika pria yang tak ingin didekatinya itu kini aroma tubunya sudah sampai ke indra penciumannya dan menggerakkan tangannya kembali membopong Aida.

"Kamu tunggu dulu di sini. Aku mau antar kakek dulu ke pintu," ujar Reiko, sambil berjalan mendekat pada sofa di saat kakeknya juga sudah mengkode pada Lesmana kalau mereka harus cepat-cepat pergi.

Dua manusia yang sangat lucu, bisik hati Lesmana yang memang tadi memperhatikan sesuatu juga.

Tapi memang dia tak membicarakan apapun. Hanya sekedar mengamati dan kini mengikuti kakek Reiko keluar dari apartemen itu.

"Jaga istrimu, yo. Jangan sampai yang begini terjadi lagi," tegas kakeknya, dengan suara berbisik, tapi tatapannya tajam pada Reiko.

"Iya kek."

Keduanya masih saling tatap saat Reiko menjawab.

"Anggap saja sekarang aku percaya karena Aida yang menjelaskan. Tapi lukanya ndak wajar. Aku akan hitung-hitungan denganmu nanti, Le."

Dan setelah mengatakan itu kakeknya meninggalkan apartemen Reiko tanpa menengok ke belakang.

"Dia sudah menutup pintunya kan Lesmana?" tanya Adiwijaya yang memang telinganya juga sudah mendengar kalau Reiko pasti sudah masuk ke dalam kamarnya. Lagi pula mereka juga sudah berjarak sekitar sepuluh meteran lebih.

"Sudah tuan besar."

"Hahaha." Kini kakeknya Reiko sudah tersenyum lagi sesaat setelah dia mendengar penjelasan Lesmana.

"Kau lihat bagaimana aku mengancam cucuku?"

"Liat tuan besar."

"Menurutmu keren tidak?"

"Tuan besar apa benar-benar curiga?"

"Ya ndak tahu ya aku, aku percaya Aida. Tadi hanya membuat cucuku supaya lebih memperhatikan dan memanjakan istrinya."

Justru sekarang Adiwijaya terlihat begitu bahagia melirik pada Lesmana.

"Kamu lihat tidak bagaimana cucuku menyuapi istrinya? Romantis ndak?"

"Romantis tuan besar."

Makin senang Adiwijaya mendengarnya.

"Perhatian ndak?"

"Den Reiko sangat perhatian sekali pada istrinya, tuan besar."

"Nah, ya iya lah, kan bojo," seru Adiwijaya senang mendapatkan jawaban Lesmana.

Bidadari (Bab 1-200)Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz