Bab 139. BELI YANG MANA YA?

21 4 1
                                    

"Hmm, ide bagus. Tapi sayangnya kamu masih berguna untukku."

Tahu kalau Aida sedang menyindirnya tapi pria itu dengan santai kini berjalan menuju ke arah meja belajar dengan buku yang masih ada di tangannya.

"Berguna?"

Aida mengerutkan dahinya tak paham.

"Lima tahun lagi, atau sampai Kakek meninggal kamu itu masih berguna untukku." Ucapan Reiko yang membuat Aida tertawa getir dan membuang wajahnya hingga dia menatap ke arah pintu kamar mandi.

"Ya, betul sekali. Anda masih membutuhkan saya untuk sandiwara bukan?"

"Hmmm, dan kamu masih membutuhkanku untuk biaya pendidikan adikmu kan?" Lagi-lagi jawaban yang membuat Aida tertawa tanpa suara.

"Bener bener. Kita masih saling membutuhkan dan aku tidak boleh gila dulu ya? Hahaha." Seakan tak takut dengan Reiko dia kembali menimpali.

"Hmm." Dan setelah tawa Aida mereda pria yang masih memunggunginya itu pun menjawab lagi.

"Makanya, daripada kamu baca buku yang aneh-aneh mending kamu nyanyi saja seperti yang tadi pagi kamu lakukan. Itu lebih bagus sepertinya untukmu bertahan waras selama tinggal bersamaku."

"Itu sholawat bukan nyanyi, Pak."

"Sudahlah diam. Aku mau kerjain pekerjaanku dulu. Bicara denganmu hanya akan membuang waktuku dan membuatku kehilangan jutaan dolar."

Yah, dia benar. Tak perlu bicara denganku. Dan itu lebih baik kalau bisa dilakukan selama lima tahun kedepan. Dengan begitu, aku bisa tidak harus banyak berhutang budi denganmu dan tidak harus banyak merasa tidak enak lagi denganmu.

Di saat Reiko mulai mengerjakan pekerjaannya lagi, Aida berbisik pelan di relung hatinya dan hanya fokus pada handphone yang ada di tangannya saja.

Apa masalahnya sudah terselesaikan?

Pertanyaan yang sama. Tapi memang tidak ada jawaban karena dia hanya berbisik.

Tuhan, buatlah aku lupa dengan apa yang sudah kulakukan padanya supaya aku tidak lagi pamrih dan tidak berharap apa-apa di dalam hatiku.

Bukannya Aida ingin semua ini disembunyikan dan Reiko tidak tahu siapa orang yang membujuk Kakeknya.

Makanya harapan lirih di dalam hatinya ini pun terbesit kemudian.

Tidak ada yang bisa aku lakukan sekali selain scrolling.

Dan memang dia menghabiskan waktunya kembali lagi kepada handphonenya, namun saat ini Reiko juga tidak mempedulikannya dan tidak berbalik lagi untuk menanyakan satu kata pun.

Dia seperti terlarut dalam pekerjaannya tanpa ada niat ingin bicara dengan orang yang satu ruangan dengannya.

Mataku jadi sepet. Tapi Aida memang bukan orang yang tahan untuk melihat handphone lama-lama ini juga yang membuat dirinya bingung.

Kenapa tadi aku di luar sana bisa main handphone lama ya? Tapi memang kalau aku tidak main handphone aku tidak akan tenang tadi. Kepikiran yang aku lakukan, tapi hebat bisa bertahan tiga jam lebih.

Amazing Aida pada dirinya sendiri, setelah menelepon Kakek Reiko, memang perasaannya jadi gundah.

Ingat Aida, dia itu tipikal orang yang bekerja keras. Dia bukan suka mengemis. Jadi kalaupun dia tidak dibantu oleh Kakeknya tetap saja dia mungkin bisa meraih apa yang dia inginkan meski waktunya lebih lama. Jadi bukan karena bantuanmu dia menjadi hebat tapi memang dia sendiri adalah orang yang hebat.

Kata-kata itu selalu digaungkan oleh Aida untuk membuat dirinya tetap tidak berpikir kalau keberuntungan Reiko karena dirinya.

Sudahlah mendingan aku liat-liat IG aja, bisik Aida menyibukkan pikirannya, sampai dirinya yang sudah kebanyakan pegang gadget itu pun akhirnya memejamkan matanya perlahan.

Ini dia masalahnya kenapa kamu bisa sampai kena radiasi yang besar. Tidur sambil megangin handphone dan menaruh di dadamu. Padahal di sana tempat dulu kanker berada. Macam-macam saja kau ini.

Reiko berbisik sambil berjalan mendekat ke arah tempat tidur. Salah jika Aida berpikir kalau Reiko memang terlalu fokus dengan pekerjaannya. Pria itu tidak menyalakan laptopnya dan sengaja membiarkan laptop itu mengarah ke tempat tidurnya sehingga dia tahu ketika Aida sudah benar-benar pulas.

"Sssh, menangiskah kau?" bisik Reiko dengan tangan yang bergerak perlahan mengambil handphone Aida.

Air di sudut mata Aida memang masih ada satu titik bening. Itu belum hilang entah apa yang sedang dipikirkan wanita itu sehingga membuat titik bening itu muncul di saat dirinya sudah memejamkan mata.

"Tuhanku yang Maha Kaya akan menyiapkan untuk saya seorang pria yang bersih, suci, masih perjaka dan mencintai saya bukan karena fisik saya. Karena saya wanita baik-baik maka jodoh saya adalah pria baik-baik, bukan pezina."

Tapi Reiko hanya melirik ke arah titik bening itu tanpa dia menghapusnya ketika dia mengingat lagi apa yang sudah dikatakan Aida dalam benaknya.

"Haha." Entah apa yang membuat dirinya tertawa tanpa bicara tapi kini pandangan matanya sudah terarah lagi kepada handphone di genggamannya itu.

Oh iya handphonenya retak. Aku harus mencari ganti handphonenya dulu karena ini semua salahku yang membuat retak begini. Handphone apa sih yang kau pakai ini? gumam hati Reiko ketika dia juga masih ingat kejadian beberapa hari yang lalu yang memang tak ingin diingatnya lagi tapi memang masih mengganggu pikirannya.

Sssh, kenapa masih memakai handphone seperti ini di tahun 2023? Dan bahkan aku tidak hafal apa mereknya.

Reiko menggerutu sambil dia mendekatkan handphone itu ke nakas tapi dia sengaja tidak menchargernya.

Kalau aku charger keenakan. Nanti bangun tidur kamu main handphone lagi meradiasi tubuhmu. Reiko menggerutu sambil dia duduk di tempatnya lagi dan kini mengambil handphonenya mencoba memikirkan sesuatu di luar pekerjaannya.

Aku carikan dia handphone apa ya?

Dan kini dia mencoba menimang-nimang karena memang Reiko tidak hafal merk ponsel yang lain kecuali dengan ponsel yang biasa digunakannya.

Tapi

Aku belikan yang sama mereknya sajalah denganku. Rencana yang ada di benak Reiko.

Tapi

"Oh iya aku hampir lupa."

Saat dirinya sudah membuka marketplace ada pesan yang masuk dan membuat dirinya teringat sesuatu yang penting.

[Di resepsionis ada driver laundry. Kamu ke bawah dan ini nomor teleponnya hubungi dia ambil laundry-an nya taruh di laci meja kerjaku, Mimi. Jangan ketahuan Papaku.]

Untung sekali pas aku sedang memegang handphone ini. Kalau tidak dia ke resepsionis bisa bikin ribet.

Ini mendistraksi Reiko. Dia yang tadinya ingin pesan handphone untuk Aida jadi memikirkan laundry yang drivernya sudah sampai parkiran lalu bertanya apakah dia harus masuk atau ada orang yang akan mengambilnya keluar atau dititip ke resepsionis.

Baju seperti itu akan membuat keribetan bagi Reiko kalau sampai karyawannya melihat.

Apa alasanku dulu menyimpan baju itu ya? tanyanya pada dirinya sendiri yang tak paham kemana jalan pikirannya.

Aku tidak tahulah. Untuk apa aku mencucikannya? Tapi mungkin suatu saat dia perlu? Atau mungkin aku bisa menggodanya dengan itu? Dia kadang-kadang sangat lucu kalau sudah malu, bisa menangis dan entahlah, lucu saja, bisik di dalam hati Reiko lagi yang masih ingat betul di saat Aida malu-malu dia bisa memerah wajahnya dan bisa sampai menangis.

Sungguh Reiko tidak mau mengingat ini, tapi dia sudah menghabiskan waktu lima menit mengingat-ingat apa saja yang sudah dia lakukan kemarin dengan Aida sambil dia senyum-senyum membelakangi Aida. Tentu saja sekarang dirinya lupa untuk mengerjakan pekerjaannya yang lain dan keinginannya membeli handphone.

Hingga

Dreeet.

Suara getar di handphone itu memaksanya untuk melihat ke arah benda bergetar itu.

[Aku sekarang bersiap ke bandara. Aku sudah check out hotel dan mungkin dua sampai tiga jam lagi aku akan sampai ke Jakarta.]

Bidadari (Bab 1-200)Where stories live. Discover now