BAB 7. HIGH PRESSURE CONVERSATION

191 15 0
                                    

"Mungkinkah itu caranya meminta maaf?"

Aida belum sempat bicara apapun setelah Reiko tadi mengutarakan satu buah kalimat. Dia tak sempat menjawabnya karena pria itu bicara sambil ngeloyor pergi meninggalkan dapur. Dia sudah memunggungi Aida dan tak lagi menengok menunggu jawaban darinya.

Makanya Aida hanya sempat berbisik dalam hatinya macam ini sambil geleng-geleng kepala.

Super sekali! Sungguh cara minta maaf yang sangat bagus. Langsung membawakan juga solusinya dari semua kesalahan yang sudah dia perbuat Rapi tanpa kompensasi.

Aida tak mau menanggapi lebih sindirannya.

Matanya pun sudah kembali mengarah pada tablet yang kini layarnya menjadi hitam karena biasalah, mati otomatis. Aida harus menyentuh dan memasukkan PIN-nya lagi untuk membuat kembali menyala

Tak perlu dipikirkan berlebihan Aida. Dia hanya tidak enak padamu saja. Makanya dia berbaik hati tadi dengan meminjamkan salepnya. Jangan ge-er.

Aida mencoba menetralkan pikirannya lagi yang sempat kepikiran juga dengan jawaban Reiko tadi yang memperhatikannya.

Sedikit perbuatan tak terduga itu menggoncangkan hati Aida ditambah lagi dengan rasa malu yang ada dalam dirinya, membuat Aida sebetulnya kesal.

Harusnya aku memang mengganti dulu sendoknya. Apa yang dia bilang benar sih. Kenapa aku malah makan menggunakan alat makan yang sudah dia gunakan? Aida gemas sendiri.

Kau ini Aida. Kenapa sih kau bodoh sekali? Hal sesederhana itu harusnya kau ingat!

Aida tadi memang tak fokus ke sana. Entahlah, kenapa juga dia bisa lupa? Ini benar-benar tidak direncanakan olehnya sampai kebodohan itu muncul dan membuatnya tidak bisa konsentrasi untuk memilih bahan makanan.

Tunggu sebentarlah, aku ambil kertas dan pulpen dulu.

Tadi Aida hanya berdiri di depan tablet tanpa tahu harus melakukan apa.

Sehingga segera mungkin dia berlari kecil menuju kamarnya mengambil pulpen dan buku tulis. Aida menulis apa saja yang memang diperlukan olehnya.

Aida sudah terbiasa dengan catatan ini karena memang dia sering melihat ibunya melakukan pencatatan begini dan mereka mulai berhati-hati sekali mencari bahan makanan juga membelinya ketika kakak Aida dan ayahnya sakit.

Jadi ini bukan hal baru baginya sehingga dengan cepat Aida pun sudah punya menu untuk seminggu. Dia tak lagi memikirkan tentang salep di kotak P3K untuk sementara.

"Aku harap mereka suka dengan menuku. Tapi kalau mereka tidak suka juga mereka punya uang untuk beli di luar dan aku hanya perlu memasak apa yang aku mau, bukan tadi katanya begitu?"

Aida senyum-senyum sambil berjalan menuju ke arah tablet dan saat ini dirinya tidak ngeblank seperti tadi! Aida sudah tahu berapa takaran yang harus dia beli. Sehingga dengan cepat Aida memilih dan mengorder apa saja yang dibutuhkannya.

"Wah harga belanjaan di sini mahal juga ya? Aku membeli itu semua masa aku harus membayar enam ratus delapan puluh ribu?"

Aida geleng-geleng kepala ditambah lagi dia melihat satu lagi bon bawahnya

"Storage box ini juga harganya lumayan padahal aku udah mencari yang paling hemat," bisik Aida dengan suaranya yang lirih dan lagi-lagi memang hanya telinganya yang bisa mendengar sebab di sana hanya ada dirinya sendiri.

Aida sedikit berat karena memang tidak mau menggunakan uang yang berlebihan. Tapi apakah ada pilihan lain sedangkan di sana dia sudah memilih yang paling murah?

"Haduh, terpaksa!" membelanjakan uang sebanyak itu saja sudah membuat dirinya meringis

"Sejuta kembali cuman dua ribu rupiah? Ya ampun mahal sekali! Buahnya juga cuman dapat apel doang dua kilo."

Bidadari (Bab 1-200)Where stories live. Discover now