Bab 18. LARANGAN

74 5 0
                                    

"Terima kasih."

Aida berucap sebelum dirinya menutup pintu.

"Hihi, aku harus berhati-hati bicara dengan orang kota karena memang mereka rata-rata bicaranya agak keras dan nyelekit. Heish, apa kehidupan kota membuat orang tidak punya hati dan nurani?"

Aida yang sudah menutup pintu, dia merespon dengan gumaman kecilnya macam tadi.

"Tapi segitu juga dia sudah baik kok membiarkanku mengecek belanjaan. Syukurin aja."

Sambil menenteng dua kantong belanjaan ditambah satu kardus berisi storage box yang dipesannya, Aida menuju ke arah dapur, berusaha positif thinking.

"Dan anak-anak di kota itu apa di usia seumuran aku mereka juga sudah cari-cari part time job ya? Keluarganya ga kasih uang lagi apa? Dan apa karena kehidupan yang keras membuat mereka memiliki selera humor yang rendah, hidup penuh tekanan dan tingkat stres juga berlebih sampai bersikap seperti dua orang yang tinggal di rumah ini juga?"

Aida tak tahu tapi memang itu menarik untuknya. Bagaimana seseorang yang berusia sepertinya berusaha untuk struggling hidup dengan jerih payahnya sendiri. Meskipun ada sisi negatif yang membuat Aida mencebik tapi kejadian tadi membuat dirinya banyak berpikir tentang kehidupan di kota besar.

"Apa nanti yang akan aku lakukan untuk menghidupi diriku sendiri lima tahun lagi ya?"

Aida pun mulai membayangkan masa depannya sambil dia merapikan barang belanjaannya, memasukkan beras ke dalam tempat penyimpanan beras dan bahan makanan lainnya ke dalam storage box yang sudah dicuci olehnya.

"Karena aku tidak mungkin tinggal di sini selamanya. Aku akan punya kehidupan sendiri setelah bebas perjanjian."

Tak ada yang bisa diajak bicara sehingga Aida memilih untuk bicara sendiri saja seperti itu daripada bosan juga dan menjaga dirinya tetap waras.

"Akan kupikirkan nantilah yang penting sekarang aku berjuang dulu untuk adik-adikku."

Dan sambil memasukkan storage box yang sudah terisi itu ke dalam lemari pendingin, Aida terus mengajak dirinya bicara tentang rencananya.

"Ini menu-menunya."

Aida juga cukup rapi dia juga sudah menuliskan semua daftar menu untuk seminggu.

Sengaja diletakkannya di dapur supaya dirinya tidak sulit menemukannya dan semuanya terorganisir dengan sangat rapi.

"Hoaaam ... selesai juga. Ngantuk deh, aku mau tidur dulu, lah."

Sambil menutup mulutnya, setelah Aida merapikan semuanya termasuk sampah-sampah bekas belanjaan dan juga menyapu di area dapur itu, dirinya juga sudah mulai merasa kelelahan.

"Pantas aja, udah tengah malam. Ngantuk banget."

Saat ini jam juga sudah menunjukkan hampir setengah dua belas.

Makanya tak heran jika Aida yang jarang begadang sudah sangat tak kuat membuka matanya lama-lama. Apalagi di malam sebelum prosesi pernikahan, dia memang tak bisa tidur, cemas dan gelisah memaksanya tetap terjaga. Jadi lelahnya sudah double.

"Lima tahun pertama sudah berkurang sehari. Alhamdulillah. Selamat beristirahat, Aida."

Aida memilih langsung kembali ke kamar dan mencuci kakinya dulu karena dia memang tidak menggunakan sendal rumah. Dingin lantai itu pun juga menusuk kakinya.

"Bismillah,"

Dan setelah melanjutkan dengan doa tidur, Aida tak butuh waktu lama untuk masuk ke dalam dunia mimpi. Lelah sudah. Perjuangan hari ini memang cukup berat untuknya. Jadi tubuhnya memang sudah minta beristirahat, meski semua permasalahan belum terselesaikan tapi memang Aida sudah masuk ke zona terlelap semakin dalam dan Aida tidur seakan-akan memang dia tidak memiliki masalah apapun.

Sangat tenang dalam tidurnya, seperti princess Aurora yang tertidur karena jarum dari alat pemintal.

"Ya ampun, Astaghfirulloh, kenapa aku bangun jam segini?"

Meskipun saat bangun semua ketenangan dalam tidurnya hilang.

"Sudah jam empat. Biasanya aku bangun jam tiga, kesiangan aku, haduuuuuuh."

Sebetulnya masih jam empat kurang lima belas menit. Tapi ini sudah membuat Aida panik. Dia pun buru-buru menuju ke kamar mandi untuk menunaikan salah satu kewajiban sunnah yang memang tak pernah Aida tinggalkan selama ini.

"Allahu Akbar,"

Dirinya pun sudah kembali khusyuk setelah melakukan takbiratul ihram.

Tak ada keinginannya untuk memikirkan hal lain sampai dirinya selesai berdoa dan kembali sujud syukur.

"Aku harus menyiapkan sarapan pagi."

Namun lagi-lagi semua ketenangan itu hilang ketika dia baru saja menyelesaikan solatnya dan sadar akan kewajiban yang harus dilakukannya.

Dan ini adalah masalah baru. Aida pun melihat ke arah jam, mau bersiap.

Tapi

ALLAHU AKBAR ALLAHU AKBAR.

Itu bertepatan dengan suara adzan Subuh yang membuat Aida mengerucutkan bibirnya.

"Rasanya aku baru akan menyiapkan sarapan nanti setelah solat Subuh dulu."

Dia mengurungkan niatnya. Aida lebih memilih menyelesaikan kewajibannya dulu sebelum melakukan perintah Reiko untuk menyiapkan sarapan.

"Selesai. Sekarang waktunya berkutit di dapur."

Setelah Aida melipat mukenanya, dia buru-buru menuju ke arah dapur, tanpa disadarinya ada orang di lantai dua yang memperhatikannya.

"Dia mau apa ke dapur? Bukannya dia baru tidur hampir tengah malam?"

Jelas Reiko tahu jam berapa Aida masuk ke dalam kamarnya karena memang tadi dia memperhatikannya

Flashback On

Sudah baik aku mau memberikanmu salep itu. Aku bisa saja tidak peduli karena memang kau yang memulai masalah denganku. Harusnya kau tidak mengatakan sesuatu yang buruk tentang Bee.

Itu adalah bisik-bisik hati Reiko ketika dia sudah memberikan salep dan ngeloyor begitu saja pergi meninggalkan dapur dengan gelas dan pitcher di tangannya, tanpa minta maaf.

Pria itu memang tidak lagi menengok ke belakang dan langsung dengan cepat berjalan menaiki tangga menuju ke kamarnya.

"Kenapa kamu lama sekali sih?"

"Bahan makanan habis. Aku sudah bilang kan padamu tadi waktu dia bikin nasi goreng? Aku memesan dulu bahan makanan supaya tak merepotkan besok-besok."

Wajah seseorang yang duduk di pembaringan itu tampak kesal sekali dengan Reiko. Walaupun sudah diberikan penjelasan seperti itu dia tampaknya memang masih tak suka.

"Perhatian sekali kamu padanya. Takut dia mati kelaparan?"

"Ayolah Bee, jangan bicara seperti itu. Aku tidak melakukan hal lain lain di sana."

"Sssh." Tapi tetap saja meski kekasihnya sudah mengatakan itu Brigita tidak dengan mudahnya menerima.

"Tetap saja kamu mengobrol dengannya dan itu yang aku tidak suka. Bagaimana nanti kalau aku tidak ada di sini? Bagaimana jika obrolan kalian menjadi makin dekat? Jadi teman, lama-lama saling suka dan nanti siapa yang rugi? Tetap aku yang akan ditinggalkan kan? Karena dia adalah wanita pilihan kakekmu dan dengan bersamanya kamu tidak akan kehilangan apapun dari hartamu."

"Sstt, apa kamu tidak lelah sih malam-malam begini masih saja mengomel Bee?"

Reiko yang sudah menuangkan air dalam pitcher ke gelas, dia datang mendekat dan duduk di samping wanita bermuka masam itu sambil menyuguhkan gelasnya.

"Jangan terus-terusan berpikir buruk tentang aku, Bee."

"Kamu yang memaksaku, Reiko. Pokoknya, aku gak mau melihatnya. Kita sarapan di kamar ini, aku gak mau liat kamu caper ama dia."

(bersambung)

baca cepat: karyakarsa.com/richircih

Bidadari (Bab 1-200)Where stories live. Discover now